6.3.06

ABAH ANOM

KHA Shohibul Wafa' Tajul Arifin (Abah Anom), Suryalaya
Muara Keluh Kesah Hati nan Gundah
Ia fenomena di jagat spiritual Indonesia. Sebagai mursyid tarekat, sekaligus ulama sepuh tempat berteduh bagi jiwa dahaga. Para pejabat dan selebriti sowan kepadanya, untuk konsultasi spiritual, maupun sekadar mendapatkan legitimasi.
Tidak banyak manusia yang mendapat anugerah berupa usia panjang dari Allah SWT. Dan di antara yang tidak banyak itu hanya sedikit yang masih mampu berinteraksi dengan sesama. Tapi, tokoh Tamu Kita kali ini, menjelang satu abad usianya, tidak hanya selalu bersilaturahmi, tapi juga masih mampu menebarkan mutiara hikmah dan berkah – meski dalam keadaan tertunduk diam. Itulah K.H. A. Shohibulwafa Tajul Arifin, yang lebih terkenal dengan sebutan Abah Anom, sesepuh Pondok Pesantren Suryalaya, Desa Godebag, Pagerageung, Panumbangan, Tasikmalaya, Jawa Barat.


Hampir setiap pagi, terutama Minggu dan Jumat, usai subuh, dengan sabar, tenang, dan penuh harap, ratusan orang – lelaki, perempuan, tua, muda, anak-anak – duduk di beranda sebuah bangunan di tengah kompleks Pesantren Suryalaya. Banyak di antara mereka para remaja, bahkan anak-anak usia TK dan SD. Mereka menunggu pintu bangunan itu, tempat Abah Anom tinggal, dibuka. Mereka membawa sebotol air mineral yang akan dimintakan berkah doa kepada Abah Anom sebagai wasilah.
Sekitar pukul 06.00, pintu rumah itu terbuka. Tiga lelaki berbusana muslim mengatur antrean para tamu tersebut. Sementara di dalam ruang tamu tampak sesosok ulama besar dan saleh duduk di kursi roda. Berusia sekitar 100 tahun, sosoknya tampak sudah renta. Matanya terpejam. Wajahnya yang bercahaya dan sejuk tertunduk dalam. Samar-samar tampak bibirnya bergerak-gerak berzikir. Dialah Abah Anom.
Satu per satu para tamu yang sejak pagi antre dengan tertib itu masuk, mengucapkan salam, lalu mencium punggung telapak tangan kanan Abah Anom yang terbungkus sorban berlapis sehelai saputangan. Pergelangan tangan kanannya dipegang oleh salah seorang anaknya, sementara seorang petugas memegangi kursi roda. Seorang petugas lainnya mengambil botol air mineral dari para tamu untuk didoakan oleh Abah Anom, dengan menjulurkannya ke depan wajah waliullah itu. Baru setelah itu diberikan kembali kepada pemiliknya untuk dibawa pulang.
Beberapa tamu dewasa tertegun ketika hendak bersalaman dan mencium tangan mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang karismatik itu. Ada yang kemudian terisak. “Perasaan saya bercampur aduk. Antara lega, haru, bangga, penuh rasa cinta, dan sebagainya. Saya menangis karena prihatin sosok-sosok besar seperti itu sekarang ini sudah mulai langka,” ujar seorang santri muda dari Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo.

Gunung SawalSekitar satu jam kemudian pintu bangunan – yang di sana disebut “madrasah” – ditutup kembali. Kursi roda itu pun diputar, berbalik, membawa sang waliullah masuk ke ruang dalam tempat dia beristirahat. Di ruang itu ada televisi, kursi beralaskan bulu domba, sementara di dinding tampak bergantungan foto Abah Anom, juga lukisan Syekh Abdul Qadir Jailani. Sejurus kemudian dua orang petugas menyapu dan mengepel lantai teras dan ruangan dalam.
Pondok Pesantren Suryalaya, yang didirikan oleh Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad alias Abah Sepuh pada 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1915 M, terletak di sebuah lembah antara Gunung Cakrabuana dan Gunung Sawal, di hulu Sungai Citanduy, Tasikmalaya, Jawa Barat. Atap makam Abah Sepuh yang berwarna hijau tua tampak menjulang di puncak sebuah bukit kecil di samping kanan Masjid Agung Suryalaya.
Abah Anom memang sebuah fenomena di jagat spiritual Indonesia. Kedudukannya sebagai mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, sekaligus ulama sepuh, membuatnya menjadi tempat berteduh bagi jiwa manusia yang dahaga. Tak kurang, para petinggi negara dan selebriti memerlukan diri untuk sowan kepadanya, baik untuk konsultasi spiritual, mengadukan permasalahan pribadi, maupun sekadar mendapatkan legitimasi. Sebagai orang tua yang telah kenyang dengan asam garam kehidupan, dengan arif Abah Anom menerima tamu-tamunya – siapa pun mereka, dan apa pun kepentingannya. Hidupnya dengan ikhlas ia persembahkan untuk melayani umat manusia.
Ada sebuah cerita menarik dari K.H. Zainal Abidin Anwar, kemenakan Abah Anom yang juga salah seorang wakil talkin – orang yang dipercaya oleh mursyid tarekat untuk mewakilinya mengajarkan zikir. Dua tahun lalu khalifah tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Amerika Serikat, Syeh Nadzim Haqqani, bertamu ke Suryalaya. Kunjungan itu dipandu oleh Ketua Dewan Tertinggi Jam’iyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah, Habib Luthfi bin Yahya. Ketika itu Syeh Nadzim mengaku mengenal Abah Anom melalui ilham yang diperolehnya ketika memohon petunjuk kepada Allah SWT.
Katanya, di tengah kehidupan dunia yang carut marut seperti sekarang ini, masih ada seseorang di Timur yang sangat ikhlas. Siapakah dia? Setelah dirunut, petunjuk itu mengarah kepada seorang ulama sepuh, yang kini usianya baru saja melewati 90 tahun (dalam hitungan kalender Masehi) atau mendekati 100 tahun menurut kalender Hijri. Setelah pertemuan yang mengharukan itu, terjadilah peristiwa yang sarat dengan bahasa isyarat.
Syekh Nadzim Haqqani mengeluarkan sebuah peluit kecil. Ia minta agar Abah Anom meniupnya: “priiit...!” Setelah itu gantian Syekh Nadzim Haqqani, mungkin sebagai makmum, meniup peluit tersebut: “priiit...!” Tak seorang pun yang tahu apa makna isyarat itu. “Saya juga tidak tahu. Tapi mungkin maksudnya sebagai ikrar bersama untuk tetap teguh berjalan di atas kebenaran Allah,” kata Kiai Zaenal, yang bertindak sebagai penerjemah.
Dalam pertemuan itu juga muncul sebuah isyarat yang luar biasa, ketika Syekh Nadzim Haqqani, dalam bahasa Inggris, berkata, “Sesungguhnya kami tidaklah memerlukan penerjemah. Sebab apa yang saya kemukakan sesungguhnya sudah dimengerti oleh Abah Anom, karena sebelumnya kami sudah berkomunikasi secara spiritual. Biarpun Abah tertunduk seperti itu sebenarnya beliau tidak tidur, tapi dapat mendengarkan dengan baik.”

Pesantren InabahBagi masyarakat awam, Pesantren Suryalaya sangat dikenal sebagai “markas” penyembuhan para pecandu narkoba dan penyakit psikis dengan metode Islamic Hydrotherapy, yang formulanya dirancang oleh Abah Anom. Metode ini menggabungkan konsep cold turkey system yang “diislamkan” melalui mandi tobat, serangkaian salat, dilengkapi berbagai zikir menurut ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Program yang semula diniatkan untuk membantu program pemerintah pada 1971 itu berlanjut terus, dan dilembagakan dalam belasan pesantren remaja Inabah.
Abah Anom sejak muda sudah zuhud, di antaranya pantang makan daging dan selalu minum air putih. Ia putra kelima K.H. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad alias Abah Sepuh dari istri kedua, Hj. Juhriyah. Ia memang disiapkan oleh ayahandanya untuk meneruskan kepemimpinan di Suryalaya. Selepas pendidikan dasar di sekolah dan pesantren Suryalaya pada 1930 Abah Anom mulai mengembara untuk menuntut ilmu.
Diawali dengan mengaji ilmu fikih di Pesantren Cicariang, Cianjur, kemudian belajar ilmu alat (ilmu bahasa) dan balagah di Pesantren Jambudwipa, juga di Cianjur, selama dua tahun. Kemudian ia mengaji kepada Ajengan Syatibi di Gentur, masih di Cianjur, dan Ajengan Aceng Mumu di Pesantren Cireungas, Sukabumi, yang terkenal dengan penguasaan ilmu hikmahnya. Belakangan ia memperdalam ilmu silat dan hikmah di Pesantren Citengah, Panjalu, Cianjur, yang diasuh oleh Ajengan Junaidi.
Kematangan ilmu Abah Anom di usia 19 tahun diuji dengan kepercayaan yang diberikan oleh Abah Sepuh untuk membantu mengasuh Pesantren Suryalaya sampai ayahandanya itu wafat pada 1956 dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum wafat, Abah Sepuh mengangkat Abah Anom menjadi wakil talkin, kemudian menjadi mursyid penuh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, sekaligus pengasuh pesantren.
Beban tanggung jawab yang begitu berat tertumpu di bahunya pada usianya yang baru 41 tahun, menenggelamkannya ke dalam samudra riadat, alias tirakat pertapaan. Kecintaannya kepada pesantren, tarekat, dan umat melarutkan hari-harinya dalam ibadah, tarbiah, dan doa. “Sepanjang sisa hidupnya ia hampir tak pernah tidur,” tutur salah seorang kemenakan perempuannya yang pernah beberapa waktu mengabdi di rumahnya.
“Abah selalu duduk di pojok ruangan sambil berzikir. Suara tasbihnya yang berkecrek-kecrek selalu terdengar, tak pernah putus. Abah juga selalu berzikir secara khafi, di dalam hati. Setiap kali merasa mengantuk, atau batal, Abah bangkit mengambil air wudu lalu melakukan salat sunah dua rakaat, kemudian kembali duduk untuk berzikir. Begitu seterusnya,” tuturnya. Tentu saja Abah Anom juga melakukan ibadah mahdlah, seperti salat dan sebagainya, dan kegiatan rutin di luar rumah, seperti mengajar, memberikan tausiah, dan mengunjungi beberapa pesantren atau kerabat.
Di awal masa kepemimpinannya, gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo masih giat di Jawa Barat. Ketika itu, pada tahun 1950-an, markas terakhir mereka di lembah Gunung Cakrabuana. “Suatu ketika jemaah yang tengah salat di sebuah surau diserang dengan tembakan-tembakan oleh mereka,” tutur Abah Anom dalam suatu kesempatan.

Kincir AirGara-gara serangan gerombolan itulah, bersama para kiai dan warga desa ia menggelar operasi pagar betis bekerja sama dengan kuwu (lurah) dan TNI. Mereka bahkan membantu operasi penyergapan terhadap laskar DI. Sebelumnya, di masa perjuangan kemerdekaan, Pesantren Suryalaya menjadi persembunyian para pejuang yang dipimpin, antara lain, oleh A.H. Nasution, Solihin G.P., dan Umar Wirahadikusumah.


Sementara pada masa pascapergolakan, Pesantren Suryalaya tampil sebagai pelopor pembangunan masyarakat. Abah Anom menjadi motor penggerak denyut nadi perubahan dengan mengajak warga dusun Godebag, tempat pesantren berdiri, dan sekitarnya bahu-membahu membangun irigasi dan membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik. Inilah amal jariah yang hasil dan manfaatnya bisa dinikmati oleh anak-cucu sampai beberapa generasi ke depan.
Membantu negara memang merupakan roh perjuangan Pesantren Suryalaya dari masa ke masa. Ini selaras dengan amanat sang pendiri sebagaimana tertuang dalam naskah Tanbih alias wasiat Abah Sepuh. Semangat membantu pemerintah ini pula yang sempat membuat pesantren ini pernah dicibir beberapa kelompok karena dianggap terlalu memihak kepada kekuasaan. Abah Anom sendiri pernah menjadi sesepuh sebuah partai politik di era Orde Baru.
Bagi bapak 15 anak ini, pengabdian kepada negara harus berangkat dari sebuah ketulusan, bukan karena pamrih, sekecil apa pun. Terkait dengan keberhasilan membantu pemerintah dalam program penyembuhan pecandu narkoba, dengan rendah hati ia pernah bertutur, “Memang, bakti saya itu belum maksimal. Tapi, saya cukup senang karena bisa membantu pemerintah menanggulangi korban narkotik.” Dalam pengelolaan pesantren, Abah Anom adalah manajer yang andal. Di tangannya, Suryalaya, yang dulu merupakan pesantren kecil di tengah hutan, berkembang pesat menjadi salah sebuah pesantren yang sangat dihormati dan disegani. Jutaan santri dan pengikutnya yang tersebar di seluruh Indonesia – bahkan juga di beberapa negeri tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Myanmar. Termasuk sekitar 3.000 santri yang bermukim di lingkungan Pesantren Suryalaya, alumni, puluhan santri remaja Inabah, serta jutaan ikhwan dan akhwat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Pengembangan pendidikan di pesantren pun tak luput dari sentuhan tangan dinginnya. Diawali dengan pendirian Yayasan Serba Bhakti pada 1961, yang menangani pengembangan pesantren. Hasilnya kini sudah terlihat. Pesantren Suryalaya memiliki beberapa unit pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Dan kini, di usianya yang semakin larut, Abah Anom tidak lagi secara intens mendampingi para santrinya. Tubuhnya yang semakin renta tak lagi mampu mengimbangi semangat dan kecintaannya kepada sesama. Karena itu, beberapa tahun belakangan semua urusan pesantren dan tarekat diserahkan kepada tiga orang yang ditunjuknya sebagai pengemban amanat: K.H. Zainal Abidin Anwar, K.H. Dudun Nur Syaidudin, dan K.H. Nur Anom Mubarok.

Namun, dengan sisa-sisa tenaga yang semakin melemah, Abah Anom tetap bersikeras menerima para tamu yang bersilaturahmi dari berbagai pelosok tanah air – bahkan dari luar negeri – walau sekadar untuk berjabat tangan. Sebab, mereka yakin, secara rohaniah Abah Anom masih akan terus mengasuh jiwa-jiwa yang membutuhkan tetes demi tetes embun hikmah yang mengalir dari kejernihan telaga hatinya. (AIS-2005)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home