24.1.11

K.H. M. Dian Nafi'

DARI PESANTREN UNTUK PERDAMAIAN DUNIA


Tak ada yang menduga kiprahnya mendamaikan konflik horisontal di Maluku, Kalimantan Tengah dan Sulawesi akan membawa langkah kaki pengasuh pesantren tradisional ini ke ranah internasional .



Hampir satu dasawarsa silam beberapa wilayah di tanah air diguncang konflik berdarah antar-etnis dan penganut agama. Prihatin dengan keadaan tersebut berbagai pihak –baik lokal, regional, nasional, maupun internasional– turun tangan menawarkan perdamaian. Tak hanya dari kalangan pemerintah, ratusan aktivis dari organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat pun turut ambil bagian dalam proses tersebut.


Uniknya, di antara ratusan aktivis LSM alumnus perguruan tinggi Barat dan akademisi lokal yang concern dengan isu-isu perdamaian dan mediasi, ada seorang kiai pengasuh pesantren tradisional. Bukan sekedar memanjatkan doa, sang kiai muda itu juga terlibat aktif dalam seluruh rangkaian proses mediasi. Tak hanya itu, kegiatan sosial yang dianggapnya sebagai bagian dari suluk spiritualnya itu juga belakangan mengantarkan langkahnya ke berbagai negara. Baik untuk menimba ilmu, berbagi pengalaman dengan para aktivis negara lain, maupun sekadar menularkan pengetahuannya kepada orang lain.


Dan hebatnya, kehadiran sang kiai di komunitas global, lagi-lagi membuktikan keberhasilan pendidikan ala pesantren, yang setiap harinya selalu berupaya membuat para santri bergumul dengan nilai-nilai luhur agama dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Kiprahnya juga sekaligus menepis cibiran sementara kalangan yang sering mengidentikkan pesantren tradisional dengan umat Islam yang terbelakang, kampungan, dan kumuh, yang hanya tahu kitab kuning, kain sarung, dan kopiah.


Uniknya, meski sudah mendunia, keseharian sang kiai tetap lekat dengan irama pesantren tradisional yang rendah hati, santun, dan terbuka. Tentu, lengkap dengan sarung, kopiah, dan kitab kuningnya yang terbilang klasik.


Ruang tamunya yang terletak di samping mushalla pesantrennya jarang sepi dari kunjungan tamu lokal dan mancanegara yang ingin bertukar pikiran dengan sang tuan rumah yang tahun ini berusia 44 tahun itu. Dialah K.H. Mohammad Dian Nafi’, pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Sukoharjo, yang merupakan cabang Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Surakarta.


Dijumpai Penulis di serambi pesantrennya, beberapa waktu lalu, kolumnis tetap di harian Solopos itu bersedia berbagi tentang hak warga negara atas kehidupan yang damai. Baginya, kata damai tidak hanya berarti ketiadaan kekerasan, melainkan juga pulihnya hubungan, dan terbangunnya relasi sosial yang adil.


Ihwal keterlibatannya dalam dunia resolusi konflik bermula dari ketertarikannya pada bidang pemberdayaan untuk rekonsiliasi saat Ustadz Dian Nafi’ mengikuti pendidikan S-2 program studi Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Jakarta KPK Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dari perkuliahannya ia memahami, negara-negara berkembang bekas jajahan sering mengalami konflik berkekerasan yang mengemuka sebagai konflik horisontal dan menjadi sangat berbahaya saat idiom-idiom agama disertakan.


Pertemuannya dengan beberapa tokoh rekonsiliasi kemudian membawanya bergabung dalam Tim Independen Rekonsiliasi Ambon (TIRA), Tim Pemberdayaan Masyarakat Pasca-Konflik (TPMPK) Maluku Utara, dan lembaga-lembaga lainnya. Misalnya, Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjahmada, Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP) Yogyakarta, Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian (PPRP) Jakarta, Crisis Centre Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Common Ground Indonesia, dan sebagainya.


Pengungsi Lintas Pulau

Tahun 2000-2003, bersama timnya, Dian Nafi’ diterjunkan ke tengah medan konflik berkekerasan di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, untuk mendampingi pihak-pihak yang bertikai dalam proses perdamaian yang digagas lembaganya bersama berbagai pihak. Bukan pekerjaan yang mudah. Karena ia dan kawan-kawannya harus keluar-masuk hutan dan naik-turun gunung untuk menemui pihak-pihak itu, termasuk para pengungsi internal (internal displaced peoples) lintas pulau.


Sukses ia raih. Melalui proses yang panjang dan melelahkan, partisan konflik di wilayah-wilayah dampingannya bersedia bertemu dalam berbagai perundingan. Kesuksesan itu kemudian menjalar ke daerah lain. Timnya diminta ikut memfasilitasi pertemuan tokoh-tokoh Dayak dan Madura yang digelar di Jakarta dan Bogor.


Banyak pengalaman berkesan dan pelajaran berharga yang diperolehnya selama pendampingan. Ketika tengah mengunjungi komunitas muslim di Halmahera Utara, misalnya, ia pernah berkunjung ke kediaman imam masjid yang rata dengan tanah. Rumah sementara berdinding dan beratapkan seng, sebagian bekas, masih dipenuhi dengan puing-puing menghitam pertanda habis terbakar.


Imam masjid ini terjebak dalam kepungan di pagi buta. Pengepung menghunus senjata tajam. Menyadari posisinya yang terjepit, akhirnya ia pun berpasrah diri kepada Allah SWT. Ia ingat doa ‘Akasyah yang diajarkan gurunya di Banggai Kepulauan, tetapi ia lupa lafalnya. Yang keluar dari mulut sang Imam adalah “Allah … Allah … Allah”. Sang imam menerobos kepungan, berjalan perlahan-lahan, kemudian lari, dan sampai di jalan raya Desa Tahane, ia diselamatkan tentara yang segera mengangkutnya ke Sidangoli, kemudian menyeberang ke Ternate.


Sang Imam Masjid menyesal sekali buku doa itu ikut terbakar. Dian Nafi’ perlahan meraih sebuah buku doa. Majmu’ Syarif judulnya. Itu buku saku. Isinya kumpulan doa, wirid, dan surah-surah Al-Quran, yang selalu dibawanya setiap bepergian. Sang Imam kaget. Buku semacam itulah yang ia maksud. Sang Imam gembira sekali menerima. Menurutnya, itu lebih dari sekadar kenang-kenangan.


Di saat kerusuhan dan bencana, banyak ikhtiar maksimal terasa sudah sampai batas kemampuan manusia. Wajah pasrah sekaligus curiga terliat di mana-mana. Doa-doa menjadi lebih terasa dibutuhkan. Dan Majmu’ Syarif itu berguna. Buku itu akrab dengan kalangan Muslim di nusantara.


Doa ‘Akasyah adalah serangkaian doa panjang yang diajarkan Baginda Nabi kepada sahabatnya, ‘Akasyah. Alhamdulillah, buku kumpulan doa itu menjadi penyambung silaturrahmi dengan para Imam Masjid. Dukungan tokoh-tokoh ini sangat penting untuk mendekatkan pihak-pihak yang berseteru. Demikian kenang suami Ny. Hj. Murtafiah Mubarokah, yang dinikahinya tahun 2003.


Hari-harinya mendampingi korban kerusuhan, belakangan membuatnya bersyukur atas latar belakangnya sebagai santri. Budaya pesantren yang ramah pada perbedaan, tutur Kiai Dian, telah membekalinya wawasan bahwa di balik kemajemukan terdapat potensi besar untuk membangun integrasi bangsa Indonesia. Forum bahtsul masail diniyah (pembahasan status hukum agama tentang berbagai persoalan kontemporer) – yang sering berakhir mauquf (disudahi karena perbedaan pandangan tidak bisa dipertemukan seraya saling menghormati pendapat masing-masing), yang kerap diikutinya di pesantrennya – juga mengajarinya sikap bijak dalam menghadapi perdebatan antarkelompok bertikai yang kadang seperti tak berujung.


Menurut Kiai Dian Nafi’, keunikan gaya pendidikan pesantren telah membangun kemampuan perseptual dalam diri para santri, yakni kemampuan memahami realitas yang melintasi batas kewajaran. Pergulatan yang intens dengan teks-teks kenabian, juga membekali mereka dengan kearifan, yang mampu menangkap makna-makna simbolik, sehingga tidak mudah memvonis orang lain.


Ia mencontohkan dengan kisah ketika seorang Arab Badui datang ke Masjid Nabawi pada masa Rasulullah SAW dan kencing di dalamnya. Perbuatan kurang ajar itu kontan membangkitkan kemarahan sebagian sahabat yang langsung berdiri untuk menghajarnya. Namun Rasulullah SAW, dengan kearifan rabbaninya justru mencegah aksi para sahabat, dan membiarkan sang Badui pergi dengan tenang. Dan terbukti, beberapa hari kemudian sang Badui kembali menjumpai Rasulullah untuk menyatakan masuk Islam.


Kiai Dian Nafi’ juga bersyukur. Meski berangkat dari pesantren tradisional, kiprahnya diakui kalangan internasional. Ini terbukti dengan undangan untuk mengikuti Disaster Management Training di Africa University, Mutare, Zimbabwe, yang dilakoninya tahun 2001 lalu.


“Profesinya” sebagai ustadz di pesantren, yang sering menjadi tumpuan keluh kesah para santri yang memiliki latar belakang beragam, juga membekalinya kemampuan dan kepekaan tersendiri dalam mendengarkan keluh kesah korban-korban konflik berdarah yang didampinginya, termasuk tonggak-tonggak ideologis yang tersembunyi.


Tak disangka, pengalaman empirisnya dalam dunia pendidikan pesantren dan perdamaian juga membawa langkah kakinya ke forum Education in Religion for Communitiy Consultation di Agia Napa, Siprus (2001), Asia Africa People Forum di Kolombo (2003), Indonesia Pesantren Program di Amherst, Massachusetts, USA (2003), dan Summer Peace Building Institute di Harrisonburg, Virginia, USA (2005). Di sinilah kelompok anti-perang di Knoxville, Tennessee, memintanya untuk berbagi pengalaman tentang diplomasi ulang alik dan mediasi melalui fungsi yang diterapkan timnya di Maluku dan Maluku Utara. Sebuah pencapaian yang melampaui angan kebanyakan santri di pesantren tradisional, yang setiap hari bergelut dengan kitab kuning, kain sarung, dan kopiah.


Langganan Beasiswa

Pak Dian, demikian sang kiai biasa disapa santri-santrinya, lahir di Sragen pada 4 April 1964. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya, K.H. Ahmad Djisam Abdul Mannan, merintis Pesantren An-Najah, Gondang, Sragen, Jawa Tengah, yang kini diasuh kakak iparnya. Sementara kakeknya, K.H. Abdul Mannan, adalah pendiri Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, salah satu pesantren Al-Quran yang terkenal di Solo.


Sejak usia delapan tahun Dian Nafi’ kecil tinggal di Mangkuyudan, Solo, bersama pamannya, K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan (Mbah Umar), salah seorang ulama besar Al-Quran era tahun 1960-1980-an. Kebersamaan yang cukup lama itu memberinya banyak waktu untuk mempelajari secara langsung kepribadian dan kebijaksanaan kiai yang terkenal arif itu. Meskipun dekat dengan sang paman, ia tidak tinggal di kediamannya, melainkan di asrama bersama para santri lainnya.


Sosok Kiai Umar sangat lekat dan membekas dalam hatinya. Sehingga, dalam sikap dan kebijakan kepesantrenan Kiai Dian Nafi’, nama Kiai Umar Mangkuyudan-lah yang paling sering disebut sebagai referensinya.


Nafi’, demikian Kiai Umar menyapanya, usai menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri 94 Premulung Laweyan, melanjutkan pendidikan menengahnya di lingkungan Pesantren Al-Muayyad. Dikenal sebagai sosok yang rajin dan ulet, Dian Nafi’ pun menggeluti beragam aktivitas keorganisasian di lingkungan pesantren dan Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) cabang kota Solo. Bahkan untuk memperkaya pengalaman dan menempa jiwanya, ia juga pernah bekerja sebagai kuli bangunan, yang dilakoninya di sela-sela waktu belajar formalnya.


Tamat Madrasah Aliyah, Dian Nafi’ masuk Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS, sambil berlatih mengajar di pesantren almamaternya. Ia terbilang menikmati kuliahnya, sehingga “ … terlambat lulus S-1”, akunya. Saat kuliah ia juga tercatat sebagai langganan penerima beasiswa Supersemar.


Di sela-sela aktivitas belajar dan mengajarnya, masih dalam status mahasiswa S-1, Dian Nafi’ dipercaya menjadi Sekretaris PCNU Surakarta dan selanjutnya menjadi Ketua Tanfidziyah cabang yang sama.


Tahun 1994, Ustadz Dian Nafi’ dipanggil K.H. Abdul Rozaq Shofawi, pengasuh Pesantren Al-Muayyad sepeninggal Mbah Umar. Tanpa disangka, ia ditugasi membuka dan mengasuh pesantren cabang di sebidang bangunan yang terletak di Dukuh Windan, Makamhaji, Kartasura, yang baru saja dibeli oleh Yayasan Lembaga Pendidikan Al-Muayyad.


Meski anak kiai dan dibesarkan oleh pamannya yang juga kiai pengasuh pesantren, penugasan membuka pesantren yang mendadak itu tak urung membuat Ustadz Dian kelabakan. Tahun 1993, memenuhi permintaan K.H. Abdul Rozaq, ia menulis dua desain pesantren. Meskipun begitu, ia merasa tidak percaya diri. Maklum, usianya yang saat itu baru 30 tahun diangapnya terlalu muda.


Akhirnya, setelah berkonsultasi dengan gurunya, menantu K.H. M. Salman Dahlawi (mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah dan pengasuh Pesantren Al-Manshur Popongan, Klaten) itu memutuskan untuk sowan kepada 40 orang ulama sepuh di Pulau Jawa. Selain memohon doa restu, ia juga bermaksud memohon nasihat dan arahan guna merealisasikan konsep pesantrennya.


Pesantren Eksekutif NU

Dari hasil sowannya itu, Kiai Dian Nafi’ memutuskan mendirikan pesantren mahasiswa yang berkonsep pesantren tanfidziyyah. “Hampir semua pesantren menyiapkan santrinya menjadi syuriah (sebutan untuk pemegang otoritas keagamaan dalam kepengurusan NU). Jarang pesantren salaf membekali santrinya dengan kecakapan menjadi pengurus tanfidziyyah (pelaksana harian atau eksekutif),” papar Kiai Dian Nafi’.


Karena itulah, selain mengajarkan dasar-dasar ilmu agama, Pesantren Windan juga membekali santrinya dengan berbagai kecakapan manajerial dan kepemimpinan. Maka, selain mengaji kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, akhlaq, dan penunjang-penunjangnya, para santri juga menikmati berbagai paket pelatihan yang diadakan oleh pesantren. Setiap santri juga diwajibkan mengikuti praktek pengalaman lapangan (PPL) selama 33 hari di bulan Ramadhan. PPL ini dibagi ke dalam tiga jenjang. Jenjang tertinggi PPL pesantren ini adalah pengorganisasian masyarakat yang mendasarkan pada metodologi participatory action research.


Tak jarang, santri-santri senior yang dianggap telah mempunyai bekal cukup, diikutkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat yang diadakan oleh beberapa LSM mitra Pesantren Windan. Sebagaimana sang pengasuh, mereka pun kemudian dikirim ke berbagai daerah yang membutuhkan; seperti Madura, Aceh, Yogyakarta, dan Pangandaran pasca-bencana alam dan sosial.


Lulusan Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia (PKU MUI) tahun 1997-1998 ini memang sosok guru yang unik. Di mata santrinya, ia adalah bapak, pendidik, sekaligus teman belajar yang menyenangkan. Tak hanya memerintah, Pak Dian juga sering terlibat dalam aktivitas santri, mulai dari menulis karya ilmiah yang berkualitas, sampai berkebun, beternak ikan, bercocok tanam, dan nukang (bertukang).


Tak mengherankan, sebagaimana dikisahkan para santri dalam pengantar buku K.H. M. Dian Nafi’, Menimba Kearifan Masyarakat, dalam proses belajar mereka, yang tak jarang jauh dari kesan formal, sang guru kerap ikut berkeringat dan ngos-ngosan, bahkan kadang terluka dan berdarah.


Kiai Dian Nafi’ juga tidak segan-segan mengumandangkan adzan di keheningan awal waktu subuh jika saat itu santri-santrinya masih terlelap tidur. Tak hanya itu, usai adzan, sang kiai pun dengan sabar mengabsen santrinya satu per satu melalui pengeras suara dengan nada yang khas. Dan sesekali mendatangi santri di kamar-kamar mereka.


Pesantrennya hanya menerima santri sejumlah yang lulus setiap tahun. Rata-rata santri mukimnya 45 orang. Kiai muda ini ingin bisa mengenal para santri sampai ke tingkat kapasitas setiap pribadi. Lulusan pesantrennya sebagian bekerja menjadi pegawai negeri sipil, aktivis LSM, profesional di media massa, wiraswastawan, teknisi di perusahaan sepeda motor, beberapa bank, dan satu di antara lulusan itu merintis pesantren di Jawa Timur dengan belasan santri mukim dan lebih dari 500 santri kalong (tidak mukim).


Yang membuat anak didiknya terkesan, hingga kini Kiai Dian masih rajin memberi pengarahan, berbagi ilmu dan informasi, melalui SMS kepada para santri dan alumni. Suatu bentuk tanggung jawab seorang bapak sekaligus guru kepada anak-anaknya. Para santri itu kemudian membuat mailing list untuk menjangkau alumni yang saat tulisan ini dibuat sudah mencapai 458 orang tersebar dari Aceh sampai Gorontalo.


Sebagai seorang pengasuh pesantren, Kiai Dian Nafi’ rupanya dianugerahi kelebihan di bidang penguasaan manhaj (metodologi atau sistematika). Ia mampu melihat suatu persoalan biasa dengan kacamata yang sistematis. Ketika berbicara mengenai pendidikan pesantren, misalnya, ia membuat sebuah rumusan khas, yang merupakan hasil dari pergumulan panjangnya dengan dunia santri. Pendidikan pesantren, ungkap Dian Nafi’, idealnya melewati tiga ranah:


Pertama, faqahah (pemahaman), yang diperoleh para santri melalui proses ta’lim (belajar). Hasilnya adalah penguasaan teks keagamaan. Kedua, thabi’ah (perilaku), yakni menubuhkan teks dalam perilaku sehari-hari melalui proses taslik atau suluk (pengamalan empirik dan reflektif). Hasil tahapan kedua ini akan tampak dalam bentuk uswah atau keteladanan sang santri.


Ranah ketiga disebut kafaah yang bisa diterjemahkan sebagai kecakapan yang dapat dibuktikan. Prosesnya melalui tatsqif, pelembagaan uswah kepada lingkungan terdekat. Hasilnya akan tampak dalam bentuk syahadah, kesaksian bahwa dalil yang dipelajari telah menjadi kenyataan yang terukur dan bermakna bagi masyarakat.


Demikianlah. Di usianya yang masih cukup muda, K.H.M. Dian Nafi’ boleh dibilang telah melakukan banyak hal besar untuk dirinya, lingkungannya, masyarakatnya dan tentu saja dunia pesantren yang telah membesarkannya. Meski berangkat dari komunitas pendidikan tradisional, sekali lagi, ia telah berhasil melampaui angan kaum santri kebanyakan: menjejakkan kaki di ranah internasional. (Kang Iftah, Mei 2007)


7.3.06

K.H. M. Salman Dahlawi, Popongan

K.H. M. Salman Dahlawi*

Kiai yang Mampu Meredakan Hujan

Begitu pembacaan Surah Al-Fil genap sebelas kali, hujan pun mulai reda. Bahkan tak lama kemudian berhenti sama sekali. Dan rembulan kembali muncul terang benderang.

Ketika gerakan reformasi mulai bergulir, ditandai dengan lengser-nya Presiden Soeharto, pergolakan dan kerusuhan merebak di mana-mana. Dan, ketika situasi semakin memanas, Nahdlatul Ulama merasa perlu mengajak seluruh warga nahdliyin untuk menggelar istigasah, berdoa bersama memohon pertolongan Allah SWT.

Ketika itu warga nahdliyin di Klaten, Jawa Tengan, tak mau ketinggalan, menggelar istigasah di Masjid Roudlotush Sholihin. Malam itu ribuan kaum muslimin berkumpul di masjid terbesar di Klaten itu, yang terletak di tengah perkampungan industri cor logam Batur.

Ketika istigasah akan dimulai, tiba-tiba turun hujan lebat, sehingga para jemaah kalang kabut. Saat itulah tampil seorang kiai. Melalui pengeras suara ia mengajak seluruh jemaah membaca surah Al-Fil sebelas kali. Setiap kali sampai pada kata tarmihim, dibaca pula sebelas kali. Meski gelisah karena mulai kebasahan, dengan serempak para jemaah membaca surah Al-Fil bersama-sama.

Ajaib! Begitu pembacaan surah itu genap sebelas kali, hujan pun mulai reda. Bahkan tak lama kemudian berhenti sama sekali. Dan rembulan kembali muncul terang benderang. Para jemaah berdecak kagum dan terheran-heran. Sebagian berbisik, ”Iki merga karamahe Kiai.” (Ini lantaran karamah Kiai).

Para jemaah yakin, meski semua kejadian tersebut tak lepas dari kehendak dan izin Allah, kemujaraban doa tidak hanya karena bacaannya, tapi juga yang lebih penting siapa yang membaca. Kiai yang memimpin bacaan Surah Al-Fil itu tiada lain K.H. Muhammad Salman Dahlawi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Manshuriyah, Popongan, pesantren tertua di Klaten.

Kiai kelahiran 1936 ini juga dikenal sebagai guru musryid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, yang ratusan ribu muridnya tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa tempat di Sumatra.

Kiai Salman adalah anak lelaki tertua K.H. M. Mukri bin K.H. Kafrawi, dan cucu lelaki tertua K.H. M. Manshur, pendiri pesantren yang sekarang diasuhnya. Kiai Manshur adalah putra Syekh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syekh Sulaiman Zuhdi, mursyid atau guru pembimbing Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Mekah.

Sebagai cucu lelaki tertua, Salman memang dipersiapkan oleh kakeknya, Kiai Manshur, yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai aulia, untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Tarekat Naqsyabandiyah. Pada 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membaiatnya sebagai mursyid.

Sorogan Bandongan
Untuk menambah bekal keilmuan, Gus Salman nyantri ke pesantren pimpinan K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, selama kurang lebih empat tahun, 1956-1960. Tapi, sebulan sekali ia masih sempat nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama ia mondok di Kediri diasuh oleh ayahnya. Sebelum menjadi mursyid, Salman menimba ilmu di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo, dan beberapa kali nyantri pasan, pengajian Ramadan, kepada K.H. Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang, Jawa Tengah.

Sejak 21 Juni 1980, Pesantren Popongan berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur, untuk mengenang pendirinya, bersamaan peresmian yayasannya. Seperti di pesantren lain, semula santri yang datang hanya untuk nyantri dan ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan – sistem pengajian tradisional di pesantren. Baru pada 1963 didirikan beberapa lembaga pendidikan formal, mulai dari Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah, Madrasah Aliyah, dan terakhir Taman Kanak-kanak Al-Manshur (1980).

Saat ini Pesantren Al-Manshur terdiri dari tiga bagian: pesantren putra, pesantren putri, dan pesantren sepuh, yang diikuti sejumlah orang tua yang menjalani suluk, yaitu laku atau amalan tarekat. Berbagai kegiatan ditata ulang. Program tahfidzul Qur’an, menghafal Al-Quran, misalnya, ditangani oleh K.H. Ahmad Jablawi, kakak misan Kiai Salman, sekaligus ia mengasuh santri putri. Sementara pengelolaan madrasah formal diserahkan kepada K.H. Nasrun Minallah, adik Kiai Salman. Kiai Salman sendiri mengasuh santri putra dan santri sepuh.

Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, kiai yang dikaruniai tiga putra dan lima putri dari istri pertama Mu’ainatun Sholihah ini juga telah menyiapkan proses kaderisasi dan regenerasi. Dan sejak 2001 ia menikahi istri kedua, Siti Aliyah, sepeninggal istri pertama, yang wafat pada 2000. Sejak itu ia juga memulai proses regenerasi dengan melibatkan putra-putrinya dalam pengelolaan pesantren.

Belakangan, seiring dengan usianya yang kian lanjut, Kiai Salman menyiapkan kader pribadi, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam, 35 tahun. Sebab, belakangan kondisi fisik kiai yang tawadu ini memang agak lemah. Maka Gus Multazam, putra ketujuh yang lahir di Mekah inilah, yang tampil sebagai badal, pengganti, dalam beberapa pengajian. Misalnya dalam pengajian fikih di hadapan para santri sepuh setiap hari Selasa.

Figur Kiai Salman amat bersahaja, ramah, dan tawaduk. Pada bulan Ramadan 1425 H lalu, ia genap berusia 70 tahun. Ketika berbicara dengan para tamu, Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala, sebagai wujud sikap rendah hati. Tak jarang, bahkan ia sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumah untuk disuguhkan kepada para tamunya.

Seperti halnya para ulama, semakin sepuh justru semakin banyak yang sowan meohon doa restu atau nasihat. Demikian juga dengan Kiai Salman, kian hari kian banyak kaum muslimin dari berbagai daerah, dan berbagai kalangan, yang sowan kepadanya. Baik untuk konsultasi pribadi, bertanya masalah agama, maupun sekadar silaturahmi minta doa restu. Bagaikan pohon, semakin tua semakin rindang, semakin banyak pula orang bernaung dari sengatan mentari di bawah rimbunan dedaunannya.

* tulisan ini adalah karya guru saya yang mulia KHM. Nawawi Syafi’i, Batur - Ceper - Klaten - Jawa Tengah, yang pernah di muat di Alkisah ed.12 2005

K.H. Abdul Rozaq Shofawi, Solo

K.H. Abdul Rozaq Shofawi

Penerus Tradisi Penghafalan Al-Quran

Ia anak saudagar batik, tapi gaya hidupnya sederhana dan dermawan. Tarekatnya pun sederhana: sangat peduli pada masalah halal-haram.

Solo, 1985. Sudah lebih dari seminggu isu penjualan daging ayam – yang disembelih tidak Islami – merebak di tengah masyarakat, dan meresahkan umat Islam. Apalagi ketika itu hampir semua ayam potong yang dijual di pasar hanya berasal dari satu atau dua agen. Kegelisahan yang sama juga mengusik seorang kiai pengasuh sebuah pesantren di Kota Bengawan itu. Tak tinggal diam, ia segera bertindak. Setiap pukul dua dinihari, mengenakan pakaian seperti orang kebanyakan, ia melamar bekerja di agen pemotongan ayam. Dua jam kemudian ia kembali ke pesantren menjadi imam shalat Subuh.

Demikianlah, selama dua minggu sang kiai telah menyembelih ribuan ekor ayam untuk dikonsumsi masyarakat. Kesempatan itu juga ia manfaatkan untuk menularkan ilmu menyembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Setelah yakin penyembelihan ayam yang dilakukan karyawan lain sudah benar, ia pun mengundurkan diri sebagai tukang potong ayam.

Meski tampak sederhana, apa yang dilakukan sang kiai sesungguhnya luar biasa. Dalam pandangannya sebagai ulama, halal-haramnya suatu makanan bukan hal sepele. Sebab, di samping merupakan masalah hukum, hal itu juga sangat berpengaruh pada upaya pembangunan mental seseorang. Hingga kini, kepeduliannya terhadap persoalan halal-haram tetap kuat, bahkan menjadi salah satu thariqah-nya.

Siapa si tukang potong ayam itu? Dialah K.H. Abdul Rozaq Shofawi, kini 60 tahun, pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo.

Karena kepedulian itu pula Kiai Rozaq pernah menghukum sejumlah santrinya gara-gara mereka mengambil telur di dapur asrama. Bukan kerugian atas sejumlah telur yang dipersoalkannya, tapi status keharaman telur sebagai hasil curian itulah yang membuatnya marah.

Ia putra pertama K.H. Ahmad Shofawi, seorang ulama yang juga saudagar batik terkenal di Solo, sementara ibundanya adalah Siti Musyarofah, putri K.H. Abdul Mannan, perintis Pondok Pesantren Al-Muayyad. Ibundanya wafat ketika melahirkan anak ketiga – yang kemudian meninggal sebulan setelah sang ibu wafat. Sejak itu saudara kandung Kiai Rozaq tinggal adik perempuannya, Siti Mariah, istri K.H. Ma’mun Muhammad Mura’i, yang kini tinggal di Yogyakarta.

Perihal wafatnya sang ibu tak lepas dari cerita unik ala pesantren. Pernikahan kedua orangtuanya adalah atas perintah K.H. Ma’shum, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ketika itu usia Musyarofah baru belasan, sementara Shofawi – sahabat sang mertua semasa sama-sama nyantri – sudah sangat uzur. Kakak sulung Musyarofah, K.H. Ahmad Umar Abdul Manan, sangat gundah, karena ia berpikir adik perempuannya akan segera menjadi janda.

Maka Kiai Umar pun menemui gurunya, K.H. Manshur, mursyid Thariqah Naqsybandiyah di Popongan, Klaten, Jawa Tengah. Baru saja ia masuk, sang guru sudah lebih dulu berkata, “Berikan saja adikmu kepada Kiai Shofawi dengan ikhlas. Insya Allah adikmu tidak akan jadi janda.” Ramalan itu ternyata terbukti: justru Musyarofah yang wafat lebih dulu.

Tukang Cat
Meski putra saudagar, sejak kecil Abdul Rozaq memilih hidup prihatin. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia mencari bekal dengan bekerja serabutan. Di sela-sela waktu belajarnya, ia pernah menjadi tukang tambal ban di pinggiran jalan Kota Gudeg. Ia juga pernah bekerja di sebuah bengkel mobil sebagai tukang cat dan mekanik.


Tak mengherankan, pengetahuannya tentang dunia otomotif sangat dalam, bahkan di kalangan para kiai ia dikenal sebagai ahli mesin. Karena itu, di sela-sela mengasuh pesantren, suami Hj. Hindun Susilowati itu mempunyai hobi mengutak-atik mesin mobil. Itu sebabnya beberapa kiai sepuh ada yang minta tolong untuk memperbaiki mobil mereka. Selama di Yogya, Kiai Rozaq sempat belajar kepada K.H. Ali Ma’shum, pengasuh Ponpes Al-Munawwir (Krapyak), K.H. Dr. Tholhah Manshur, pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada, dan K.H. Masturi Barmawi, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Ketika baru menikah, ayah lima anak itu menghidupi keluarganya dengan berdagang es keliling, yang belakangan berkembang menjadi home industry. Setelah mengasuh Al-Muayyad, Kiai Rozaq sekeluarga hijrah ke kompleks Pondok Pesantren Al-Muayyad.

Dipercaya meneruskan mengasuh pesantren Al-Quran membuat Kiai Rozaq merasa perlu meneruskan tradisi penghafalan kitab suci itu kepada putra-putrinya. Maka sejak kecil, putra-putrinya, yaitu Hj. Ari Hikmawati, H. Faishol Arif, H. Kholid, Hj. Himmatul Aliyah, dan Hj. Nailil Muna, dibiasakan menghafal Al-Quran. Bahkan, sebagai motivator, Kiai Rozaq selalu menyediakan hadiah setiap kali mereka berhasil menambah hafalan satu juz. Jangan heran, di usia muda mereka telah menjadi hufazhul Quran, penghafal Al-Quran.

Sejak masih muda, Kiai Rozaq sering diajak pamannya, Kiai Umar, mendiskusikan masalah kepengurusan pesantren. Satu hal yang ia kenang: sang paman selalu mendorongnya untuk melakukan inovasi, sementara sang paman hanya mengawasi sambil sesekali mengingatkan jika langkah yang ditempuh kemenakannya kurang sesuai dengan pikirannya.

Kepemimpinan yang bijak itu sangat membekas di hati Kiai Rozaq, sehingga di belakang hari ia juga selalu memberi kebebasan kepada stafnya untuk melakukan inovasi, sepanjang tidak bertentangan dengan garis-garis besar kebijakan pesantren. Ia begitu sabar membiarkan pengurus pesantren, yang rata-rata masih muda, mengutak-atik sistem kepengurusan dan membuat forum untuk mengkritisi sistem yang sedang berjalan.

Guru lain yang juga sempat menanamkan kearifan dalam diri Kiai Rozaq ialah ulama kharismatik yang tinggal di Mangli, sebuah desa kecil di lereng Gunung Merbabu, Kiai Hasan Asykari, yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Mangli. Sekitar tahun 1977-1980, ia mengaji sekaligus berkhidmah kepada tokoh yang pengajian mingguannya selalu dihadiri ribuan orang itu.

Selama tiga tahun, setiap minggu, Kiai Rozaq mengendarai sepeda motor menempuh perjalanan Solo-Mangli. Cukup jauh, karena Mangli terletak di wilayah Ngablak, Magelang. Jadwal pertemuan mingguan itu bertambah jika tiba-tiba Mbah Mangli memanggilnya untuk suatu keperluan. Sering Kiai Rozaq, yang kemudian dipercaya sebagai sopir pribadi sang guru, diperintahkan mengantar Mbah Mangli keliling Jawa selama seminggu penuh.

Ketika berkhidmah kepada ulama kharismatik tersebut, banyak pelajaran berharga yang didapatnya. “Ternyata Mbah Mangli benar-benar ulama yang dianugerahi kasyaf oleh Allah. Beliau weruh sak durunge winarah,” katanya.

Maksudnya, sudah tahu sebelum suatu peristiwa terjadi. Pernah suatu ketika Kiai Rozaq diminta mengikuti sang guru ke suatu tempat. Sebelum berangkat, Mbah Mangli minta muridnya itu menempuh rute memutar jalan – rute yang tidak biasa. Menganggap jarak yang akan ditempuh semakin jauh, Kiai Rozaq memberanikan diri mengusulkan rute yang biasa. Karena Mbah Mangli diam saja, ia pun menempuh jalur biasa yang lebih singkat. Namun, di suatu tempat, perjalanan terpaksa terhenti karena jembatan yang harus mereka lewati baru saja ambrol.

Menurut penduduk setempat, diperkirakan waktu ambrolnya jembatan bersamaan dengan perintah Mbah Mangli kepada Kiai Rozaq untuk menempuh jalur memutar. Maka sang murid pun segera menyadari kesalahannya, dan minta maaf.

Santri Kesayangan
Setelah genap tiga tahun, Kiai Rozaq menyelesaikan pengajian – sesuai perintah sang guru. Hal ini pun sepertinya merupakan isyarat sang guru, karena tak lama kemudian K.H. Ahmad Umar, pendiri dan pengasuh pertama Ponpes Al-Muayyad, wafat. Karena almarhum tidak berputra, para kiai sepuh memerintahkan Abdul Rozaq – kemenakan tertua almarhum, yang memang sudah lama dibimbing oleh Kiai Umar – untuk mengasuh Ponpes Al-Muayyad. Padahal ketika itu usianya baru 36 tahun, terbilang masih cukup muda untuk memikul amanat kepengasuhan yang cukup berat.

Dalam tradisi pesantren, kedekatan seorang santri dengan ulama kharismatik, apalagi menjadi santri kesayangan, merupakan sebuah keistimewaan. Dalam beberapa hal, posisi seperti itu sering kali juga menjadi semacam pengakuan atas kapasitas dan integritas si santri.

Dari Mbah Mangli, selain mengaji ilmu agama, Kiai Rozaq juga belajar ilmu kedermawanan. Menurutnya, dalam hal yang satu ini sang guru terbilang sangat luar biasa. Ia tidak pernah menolak pengemis yang datang meminta-minta. Dan, sebagaimana ajaran agama, sang guru selalu menasihati bahwa sedekah tidak pernah membuat seseorang menjadi miskin. Bahkan sebaliknya, dengan bersedekah, harta seseorang malah berlipat ganda karena berkah.

Namun, Kiai Rozaq sendiri mengakui, menjadi seorang dermawan bukan hal yang mudah. “Persoalan terbesar yang selalu menghadang orang yang ingin menjadi dermawan ialah penyakit hubbud dun-ya, terlalu cinta materi. Penyakit ini sangat berbahaya, karena bisa mematikan hati seseorang,” katanya. “Kerusakan moral yang melanda banyak pemimpin negeri ini berawal dari hubbud dun-ya itu. Ini bertolak belakang dengan contoh-contoh yang diajarkan oleh tokoh-tokoh Islam generasi awal,” tambahnya.

Jauh sebelumnya, pengalaman paling berharga mengenai kedermawanan itu didapatnya dari sang ayah, Kiai Shofawi. Saudagar batik yang kaya di Tegalsari, Solo, itu selalu menasihati putra-putrinya bahwa orang kaya harus menjadi semacam keran, yang selalu mengucurkan air bagi setiap orang yang membutuhkan.

Lagi-lagi pelajaran itu tidak hanya disampaikan dalam bentuk teori. Sepanjang hidupnya, sang ayah dikenal sebagai dermawan. Sering orangtua yang ingin memondokkan anaknya ke pesantren, tapi tak punya biaya, sowan kepada sang ayah. Maka bisa dipastikan, orang tersebut tidak akan pulang dengan tangan hampa. Hingga kini jejak kedermawanannya masih terlihat, berupa Pondok Pesantren Al-Muayyad dan Masjid Takmirul Islam, Tegalsari, yang merupakan amal jariyah almarhum. Bahkan Masjid Tegalsari, yang dibangun sekitar seabad silam, dan merupakan masjid swadaya masyarakat yang pertama di Solo itu, dibangun dengan sisa ongkos naik haji tiga orang ulama yang diberangkatkan dengan biaya Kiai Shofawi.

Konsisten sebagai pengasuh pondok pesantren, Kiai Rozaq sangat prihatin ketika akhir tahun lalu mendengar kabar adanya rencana untuk mendata sidik jari kaum santri. Maka dengan tegas mantan rais syuriah Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang Solo itu menolak. “Seharusnya pemerintah membaca sejarah. Sejak negeri ini belum berdiri, pesantren selalu berdiri di barisan terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dan setelah merdeka, kaum santri senantiasa mencintai dan membela tanah air dengan istiqamah,” kata Kiai Rozaq, yang sehari-hari biasa dipanggil Pak Dul.

Dalam sejarahnya, pesantren telah membuktikan diri sebagai lembaga pendidikan yang tangguh dan berhasil mendidik karakter para santri. Menurut Kiai Rozaq, kunci utamanya ialah keikhlasan para pengasuh dan pengajarnya. Sebab, kalangan pesantren menganggap bahwa ilmu – terutama ilmu agama – adalah amanah Allah yang muslim secara suka rela harus menyampaikan kepada setiap orang yang membutuhkannya.

Itulah sebabnya khittah pesantren Al-Muayyad ialah mendidik para santri – siapa pun orangnya. Maka tidak boleh ada kebijakan yang membuat seseorang terpaksa tidak jadi nyantri hanya gara-gara tidak mampu membayar biaya pendidikan. (AIS-Febuari 2006)

Drs. K.H. A. Hafizh Utsman, Bandung

Drs. K.H. A. Hafizh Utsman

Kiai Teguh dari Kota Kembang

Salah satu penyakit di masyarakat yang cukup menggelisahkannya adalah kebohongan. Baik yang dilakukan perorangan maupun oleh sistem.

Di awal tahun ‘80-an pemerintah Orde Baru mewajibkan seluruh pegawai negeri mengikuti salah satu partai politik bentukan rezim penguasa. Seorang ulama, yang saat itu merupakan pengajar di sebuah perguruan tinggi Islam negeri di Bandung, berani menolak dan tetep keukeuh pada pendiriannya membela NU, yang saat itu masih berfusi di PPP. Baginya, NU lebih bisa dipercaya daripada yang lain, karena sejelek-jeleknya orang NU pasti masih nggondheli dawuh ulama, mengikuti nasihat para ulama.

Hasilnya bisa ditebak, ia pun dipensiunkan dini oleh Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratuperwiranegara. Parahnya, haknya sebagai pensiunan pegawai negeri juga tidak jelas hingga kini. Kiai yang jika berbicara selalu tanpa tedeng aling-aling ini adalah K.H.A. Hafizh Utsman, ketua MUI Jawa Barat.

Lahir pada tahun 1940 di tempat diselenggarakannya Muktamar NU ke-13 dua tahun sebelumnya, Abdul Hafizh Utsman adalah putra kedua dari enam bersaudara pasangan Kiai Utsman dan Hj. Hamsah.

Masa kecilnya dihabiskan dengan mengaji kepada beberapa ulama di daerahnya. Di antaranya, K.H. Abdul Lathif, pengasuh Pesantren Nanggorak Banten yang juga rais syuriah Pandeglang dan dikenal sebagai ahli hadis. Ia juga sempat mendalami fikih kepada K.H. Ihya di Tegal, Menes. Lalu kepada K.H. Hayani, Manuntuk, Banten, yang ahli hikmah. Kepada gurunya ini, Kiai Hafizh, selain mendalami ilmu bahasa dan hadis, juga sempat mengkhatamkan kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Setamat dari sekolah formal di kampungnya, Kiai Hafizh mendapat beasiswa untuk mengikuti Takhasus Diniyyah Aliyah, pendidikan khusus agama tingkat tinggi, di Amuntai, Kalimantan Selatan, dari Dr. K.H. Idham Khalid. Karena naluri santri yang dimilikinya, ketika di Amuntai ia juga menyempatkan diri mengaji kepada K.H. Abdul Wahab Sya’roni.

Dari Amuntai ia hijrah ke Solo dan kuliah di di Kuliyyatul Qadla’, Fakultas Syariah, Universitas Nahdlatul Ulama, Solo (UNU), yang diselesaikannya pada 1966. Di Solo, ia juga mengaji dan mendapatkan ijazah manakib Syekh Abdulkadir Jailani dari Kiai Mudzakir, di samping mengaji secara pribadi kepada beberapa ulama besar lain saat itu.

Selesai kuliah, tahun 1967 Kiai Hafizh hijrah ke Bandung. Ia termasuk salah seorang yang ikut membidani kelahiran Universitas Islam Pasundan, yang setahun kemudian berubah menjadi IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Tahun 1968, ia diminta bergabung dengan Majelis Alim Ulama Jawa Barat, cikal bakal MUI Jawa Barat. Di lembaga milik pemerintah itu, bapak empat putra dan empat putri ini sempat menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat pada tahun 1990 sebelum akhirnya sejak tahun 2000 menjadi ketua MUI Jabar.

Mengenai lembaga yang dipimpinnya, ia berpendapat, “MUI adalah forum komunikasi cendekiawan muslim yang dibentuk oleh negara. Idealnya, seorang ulama berperan membawa kemaslahatan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebersamaan.”

“Masyarakat dan negara seyogianya tidak diposisikan berhadapan, melainkan berdampingan,” kata tokoh yang tinggal di perumahan DPRD Margasari, Bandung, Jawa Barat, ini. “Misalnya,” kata Kiai Hafizh, “Ulama menghukumi bahwa judi itu haram. Maka, pemerintah seharusnya segera menindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret.”

Kariernya di bidang politik, sebagaimana para pendahulunya di daerah Menes, selalu berada di gerbong Nahdlatul Ulama. Tahun 1971, misalnya, ia terpilih menjadi anggota DPRD Jabar mewakili Partai NU, dan tahun 1977 ia pun menjadi anggota DPR RI mewakili PPP. Ketika NU memisahkan diri dari PPP, Kiai Hafizh pun dengan setia tetap berada di organisasi yang didirikan oleh Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini.

Tahun 1989-1999 ia diminta mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid sebagai wakil ketua Tanfidziyah PBNU, dan lima tahun berikutnya ia pun menjadi salah satu rais syuriah PBNU. Ketika Gus Dur sakit keras, ia ditunjuk oleh PBNU untuk menjadi pejabat ketua umum.

Keluarga Demokratis
Dalam mendidik putra-putrinya, kiai yang satu ini cukup demokratis. Meskipun kepada putra-putrinya Kiai Hafizh selalu menyempatkan diri untuk menanamkan dasar-dasar pengetahuan dan pengamalan agama, dalam urusan hidup berbangsa dan bernegara ia menyerahkan sepenuhnya pada anak-anaknya. Mereka punya hak asasi untuk bersikap.

Terhadap sikap bijak orangtuanya ini, anak-anak Kiai Hafizh juga tahu diri. Saat ini hampir seluruh putra-putri kiai yang pemberani ini telah menyelesaikan bangku kuliah. Termasuk putra keenamnya, Muhammad Al Banna, yang kuliahnya di University of Baghdad sempat terhenti gara-gara invasi Amerika ke Negeri 1001 Malam itu.

Kini, di usianya yang sudah cukup senja, untuk tabungan akhirat, bersama saudaranya Kiai Hafizh mendirikan Perguruan Anwarul Hidayah, yang pengelolaannya dipercayakan kepada adiknya, Drs. H.M. Zuhri Usman, santri Kiai Dimyathi Pandeglang. Ia pun masih menyempatkan diri mengajar di beberapa majelis taklim di sekitar lingkungannya di Margasari Bandung. Bahkan setiap malam Minggu pekan kedua tiap bulan ia masih mengajar di Masjid Raya Jawa Barat, dengan membacakan kitab fikih terkenal, Umdatul Ahkam.

Mengenai agama dan masyarakat ini, Kiai Hafizh berkomentar, “Seharusnya agama sebagai keyakinan dan cita-cita itu bisa menjadi pengawas perilaku umatnya. Namun, sepertinya belakangan ini masyarakat tidak lagi mempunyai kekuatan dan rasa mantap dalam memikirkan kemasalahatan umum.”

Salah satu penyakit di masyarakat yang cukup menggelisahkannya adalah kebohongan. Baik yang dilakukan perorangan maupun oleh sistem, seperti misalnya kebohongan unsur-unsur pengadilan.

“Dalam Islam kan yang termasuk dosa besar adalah berbohong di pengadilan.”
Ketika ditanyakan solusinya, dengan menggeleng kepala Kiai Hafizh berkata, “Solusi dalam menghadapi berbagai persoalan yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa dan negara saat ini, kalau menurut konsep Suni, sudah tinggal mendoakan saja.”

Dan, menurutnya, “Ulama berkewajiban membimbing masyarakat berdoa dengan cara yang benar, misalnya dengan mengawali ‘doa’ tersebut dengan tobat dari segala kesalahan. Juga menyempurnakan tobat dengan mengembalikan hak-hak orang lain, baik hak materiil maupun hak sosial.”

Banyak orang yang menguasai dalil-dalil agama, tetapi tidak banyak yang berani teguh memperjuangkannya di segala situasi. Dari yang tidak banyak itu, barangkali, Kiai Hafizh Utsman ini salah satunya. (AIS-Mei 2005)

K.H. Abdul Hayyie M. Na’im

K.H. Abdul Hayyie M. Na’im

Ulama Sepuh Betawi yang Peduli Anak Muda

Kepedulian akan masa depan remaja itu pula yang menggerakkan hatinya untuk mendampingi ikut mengasuh Majelis Taklim Nurul Mustafa, yang mayoritas jemaahnya remaja tanggung.

Ribuan jemaah masih menggoyangkan badannya ke kiri dan kanan, mengikuti irama hadrah, ketika dari kejauhan tampak seorang tua bertubuh tinggi besar memasuki arena. Beberapa di antaranya segera berebut mencium tangan ulama yang kelihatan kelelahan itu. Oleh panitia, tokoh yang mengenakan gamis dan jubah putih lengkap dengan iqamahnya itu pun segera diantar naik ke panggung.

Di panggung, beberapa habib dan para ustaz segera menyambutnya. Tak lama ia pun dipersilakan duduk di sebelah Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, sang pengasuh majelis. Usai tausiah beberapa habib muda, sang kiai ini pun mendapat giliran berceramah.

Duduk di sofa, suara baritonnya pun memecah keheningan. Dengan dialek Betawi yang kental, kiai berwajah jernih ini mengupas materi tauhid, tentang manisnya iman. Gayanya yang santai dan celetukan-celetukan segarnya membuat suasana pengajian yang hampir mendekati tengah malam itu semakin hangat. Dan materi yang sebenarnya berat itu pun menjadi lebih mudah ditangkap jemaah, yang mayoritas anak-anak muda.

Canda yang mengiringi sepanjang pengajiannya pun tak mengurangi bobot keilmuan yang disampaikan tamu kita kali ini, K.H. Abdul Hayyie M. Na’im.

Lahir tahun 1940 di Cipete, anak kedua dari tiga puluh bersaudara ini adalah putra ulama Betawi, K.H. Muhammad Na’im, asli Cipete, dan Hj. Mardhiyah, yang berasal dari Mampang.
Masa kecilnya dihabiskan bersama orangtuanya di Cipete, Jakarta Selatan. Selepas Madrasah Ibtidaiah, ia pun kemudian melanjutkan ke Raudhatul Muta’alimin Mampang, yang diasuh ulama kenamaan Betawi K.H. Abdur Razaq Ma’mun.

Celana Pendek
Tak lama, Abdul Hayyie, yang baru berusia 14 tahun, pun dikirim nyantri ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Ihwal pengirimannya ke pesantren legendaris itu berawal dari kunjungan Kiai Abdur Razak, yang juga sekaligus sahabat orangtuanya, ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tersebut. Melihat kualitas pendidikannya, Kiai Razzaq lalu merekomendasikan Abdul Hayyie untuk nyantri di sana.

Meski masih terbilang kecil, Abdul Hayyie berangkat ke pesantren hanya bersama kawannya, tanpa ditemani orangtua. Bahkan saat masuk pesantren yang saat itu diasuh K.H. Abdul Khaliq Hasyim, ia hanya memakai celana pendek. Maka, tak ayal, ia disambut dengan sorak-sorai santri-santri lain, sementara ia sendiri kebingungan karena tak mengerti bahasa Jawa.
Enam bulan pertama, ia mengaku baru berusaha menyesuaikan diri dengan suasana pesantren. Atau, menurut istilahnya, mondok-mondokan. “Ada anak-anak yang ngaji ke sana, saya ia ikut ke sana. Ada yang ngaji ke sini... ikut,” kenangnya terkekeh.

Baru pada bulan ketujuh ayahnya datang untuk memasrahkannya kepada para pengajar Tebu Ireng. Secara khusus ia juga dititipkan kepada Kiai Idris Kamal, menantu Hadhratus Syekh Hasyim Asy’ari, yang berasal dari Cirebon.

Awalnya, Abdul Hayyie, yang berteman akrab dengan Gus Hakam, putra K.H. Kholiq, pengasuhnya, mengikuti pengajian dengan sistem bandongan, guru membacakan sebuah kitab dan para santri menyimak sambil memberi catatan makna di kitabnya masing-masing. Setelah dua tahun, Kiai Idris, gurunya, menyuruh Abdul Hayyie mengaji dengan sistem sorogan, santri membaca dan menguraikan makna kitab sedangkan sang guru hanya mendengarkan sambil sesekali mengoreksi.

“Kalau kamu ngaji bandongan, yang akan tambah pandai itu guru kamu,” nasihat Kiai Idris waktu itu. “Sedangkan dengan sorogan, kamulah yang akan aktif dan bertambah pandai.” Secara khusus, Kiai Idris menyediakan waktu baginya untuk mengajukan sorogan.

Mencukur Kiai
Dengan Kiai Idris ini, Abdul Hayyie menjadi santri istimewa dan sangat disayang. Misalnya, setiap kali makan malam, Kiai Idris selalu menyisakan separuh dari sepiring porsi yang disantapnya. Menjelang tengah malam, santri yang sudah dianggap putra sendiri itu dipanggil dan disuruh menghabiskan sisa makan malam dari piring gurunya tersebut. Dalam tradisi pesantren, makanan sisa guru ini dianggap membawa berkah tersendiri.

Belakangan, Abdul Hayyie juga dipercaya mengurus berbagai hal pribadi sang guru, termasuk urusan cuci pakaian, atau, untuk pakaian-pakaian tertentu, laundry. Bahkan ia dibelikan gunting cukur dan diminta untuk belajar memangkas rambut dengan Kiai Idris sebagai modelnya. Selama kurang lebih empat tahun, Abdul Hayyie menjadi tukang cukur kiainya itu.

Saking sayangnya, kiai yang hanya memiliki seorang putra itu juga mencukupi seluruh kebutuhan Abdul Hayyie di pesantren. Hayyie juga dilarang terlalu sering pulang. “Kamu pulang mau apa? Kalau kamu kangen pada orangtuamu, saya akan minta mereka datang kemari. Kalau kamu butuh uang, saya beri. Kamu butuh pakaian, saya belikan,” ujar ayah angkatnya itu setiap kali Abdul Hayyie pamit pulang.

“Maka saya pernah dua tahun lebih tidak pulang dari pesantren... he he he,” tutur Kiai Abdul Hayyie.

Hal yang paling mengesankan dari Kiai Idris, yang dianggap paling berjasa dalam mendidik Abdul Hayyie, adalah dalam hal kedisiplinan dan kerapian. Dalam berpakaian, misalnya, sang guru selalu tampil dandy dengan baju disetrika licin dan sepatu yang hitam berkilat, meski nyaris tidak pernah meninggalkan kompleks pesantren.

“Kiai,” kata kiai yang oleh muridnya kerap disapa Buya itu, “juga sangat disiplin dalam mengajar. Kiai sering mengatakan, ‘Kalian harus sungguh-sungguh dalam mengaji, kalau tidak mendingan nggak usah mengaji pada saya. Lha buat apa, di dunia saya capek enggak dapat apa-apa. Kalau kalian tidak berhasil jadi orang di akhirat, saya juga enggak dapat apa-apa’.”

Kiai Idris, kenang ulama yang pernah 15 tahun menjabat katib am PWNU DKI ini, mempunyai cara mengabsen yang unik. Setiap akan mengajar, ia memberikan dua bungkus rokok kepada Abdul Hayyie dan menyuruhnya membagikan kepada murid-murid yang akan mengaji. Setiap murid hanya berani mengambil satu batang, sisanya akan dikembalikan pada sang kiai. Maka, dari sisa rokok, Kiai Idris akan segera tahu berapa orang santri yang saat itu bolos mengaji.

“Santri yang ketahuan membolos dengan sengaja akan diskors tiga hari tidak diizinkan mengaji. Dan bila sampai tiga hari tidak minta maaf secara pribadi, ia tidak akan diizinkan mengaji selamanya.”

Pengalaman menarik di masa mondok lainnya, setiap kali baru pulang atau akan berangkat ke pesantren, Abdul Hayyie selalu dibawa sang ayah sowan kepada Habib Ali Al-Habsyi, Kwitang, dan Habib Ali Alatas, Cikini, untuk dimintakan doa. Ia juga diharuskan pamit kepada seluruh paman dan bibinya setiap kali akan berangkat.

Penduduk Ilegal
Meski dengan berat, akhirnya, pada tahun 1960, Kiai Idris mengizinkan Abdul Hayyie pulang dari Tebuireng. Waktu itu ayahnya beralasan akan memberangkatkan Kiai Abdul Hayyie ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.

Ceritanya, tahun ’60-an Kiai Muhammad Na’im sangat menginginkan anaknya bisa bermukim dan belajar di Mekah. Maka ia pun mendekati koleganya di NU, K.H. Idham Khalid, yang kemudian berhasil memberikan kemudahan pemberangkatan putranya.

Malam sebelum kepulangannya, Kiai Idris meliburkan semua pengajiannya dan menyediakan waktu kepada anak angkatnya untuk bercengkerama. Malam itu juga Kiai Idris menitipkan sepucuk surat kepada Abdul Hayyie untuk disampaikan kepada familinya yang menjabat duta besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi, K.H. Muhammad Ilyas. Maka tahun itu Abdul Hayyie berangkat ke Mekah dengan menumpang kapal laut.

Di Kota Suci, Abdul Hayyie mondok di Pesantren Darul Ulum, yang diasuh oleh Syekh Yasin Al-Padani, ulama besar Mekah kelahiran Minangkabau. Yang unik, selama kurun waktu lima tahunan (1960-1964), keberadaan Abdul Hayyie dan beberapa kawannya adalah sebagai mukimin ilegal. Karena sebenarnya saat itu pemerintah Kerajaan Arab Saudi melarang kedatangan mukimin baru.

Saat itulah K.H. Abdul Hayyie merasakan betapa Allah SWT telah melindunginya selama masa belajar. “Waktu baru datang,” cerita Buya penuh semangat, “saya langsung tawaf dan berdoa di depan Ka’bah, agar selama belajar Allah menyelamatkan saya dari sweeping para asykar, tentara.”

Di madrasah yang sangat populer di tanah air ini, ia sekelas dengan Kholil Bisrie, putra K.H. Bisri Musthofa Rembang. Ia juga berteman dengan Hambali Maksum dan Mahfuzh Ridwan (kini menjadi pengasuh Ponpes Edimancoro Salatiga). Seiring perjalanan waktu, ketiganya menjadi sahabat karib.

Bersama Hambali dan Mahfuzh pula, pada 1965, ia nekat hijrah ke Baghdad, Irak, tanpa bekal apa pun, kecuali tiket yang dibeli dengan uang terakhir yang mereka miliki. Di Baghdad mereka mendaftar di Fakultas Sastra Baghdad University. Namun, untuk diterima dan berhak mendapatkan beasiswa, ternyata ketiganya masih harus menunggu cukup lama.

Mereka lalu memutuskan tinggal di sebuah flat, langganan mahasiswa Indonesia yang pembayaran sewanya bisa diutang sampai beasiswa keluar. Sedangkan untuk makan, secara bergantian ketiga pemuda itu menjual satu per satu barang yang mereka miliki di pasar loak. Uangnya digunakan untuk membeli bahan makanan yang dimasak dengan menumpang di sebuah musala yang merbotnya kebetulan orang Indonesia. Dan untuk menghemat uang, mereka makan hanya sekali dalam sehari.

Demikianlah, selama kurang lebih lima bulan, Abdul Hayyie, Mahfuzh Ridwan, dan Hambali hidup prihatin di ibu kota negeri Abu Nawas tersebut. Kehidupan mereka mulai membaik saat beasiswa yang terbilang lumayan itu sudah mereka terima dengan lancar setiap bulan. Bahkan sebagian uang tersebut bisa ditabung.

Remaja Masjid
Ketika kuliah di Baghdad itu pula, pada tahun kedua, Abdul Hayyie bertemu dan bersahabat dengan Abdurrahman Wahid (mantan presiden RI) yang kebetulan sekelas dengannya. “Kami dulu sering gantian pinjam buku catatan setiap menjelang ujian,” kenangnya.

Hingga kini, ia dan Gus Dur masih terus menjalin silaturahmi. Gus Dur, yang kemenakan kiainya di Tebuireng itu, sesekali juga mengunjungi rumah sahabatnya ini. Terkadang mereka mengobrol sambil terkekeh-kekeh, nostalgia mengenang beberapa kebiasaan di Baghdad, misalnya main karambol.

Berbeda dengan di negara Timur Tengah lain, saingan terberat mahasiswa Indonesia di Irak adalah para pelajar Irak sendiri. Mereka belajar sangat keras, karena takut tidak lulus. Sebab, kata Kiai Abdul Hayyie sambil terkekeh, pelajar irak yang gagal dalam ujian akan langsung diikutkan wajib militer dan dikrim ke medan perang.

K.H. Abdul Hayyie berhasil meraih gelar Lc-nya tahun 1970. Namun ia tak segera pulang. Bersama sahabatnya, Mahfuzh dan Hambali, kembali ia berkelana ke beberapa negara Timur Tengah, seperti Yordania, Turki, dan Beirut. Mereka menggunakan uang tabungan yang disisihkan dari beasiswa dan uang pengganti tiket pesawat yang disediakan pemerintah Irak.
Baru tiga tahun kemudian Abdul Hayyie kembali ke tanah air. Di kampung halamannya, Cipete, ia segera bergulat dengan aktivitas barunya, membantu sang ayah mengajar. Apalagi ketika enam bulan kemudian ayahnya wafat, K.H. Abdul Hayyie pun semakin tenggelam dengan aktivitas dakwah dan taklimnya.

Di samping mengasuh pengajian dan Madrasah An-Nur, peninggalan ayahnya, ia juga mengajar di berbagai madrasah dan majelis taklim di Jakarta Selatan, termasuk daerah Ciganjur dan sekitarnya. Baru pada 1989, setelah adik-adiknya dirasa cukup matang untuk menggantikan posisinya di An-Nur, Cipete, ia pun hijrah ke Jalan Durian, Gang Sabar, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Meski demikian, dengan rutin ia masih terus memantau dan mendampingi pendidikan di An-Nur.

Lima belas tahun terakhir, seminggu sekali ia juga mengajar secara bergiliran di sekitar 50 masjid di Jakarta Selatan dan Depok. Meski usianya telah beranjak, semangat dan derap langkahnya perlu diacungi jempol.

“Masih maraknya pengajian-pangajian inilah yang meredam murka Allah SWT,” tuturnya suatu hari menjelaskan, “sehingga tidak segera menurunkan azab-Nya atas penduduk kota metropolitan ini.”

Kiai Abdul Hayyie mengaku miris setiap hari menyaksikan kekejian dan kesadisan yang dilakukan oleh sesama manusia. “Jakarta sekarang ini ibarat hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas,” keluhnya gundah.

Ayah 11 anak ini juga sangat khawatir dengan perkembangan masyarakat 30 tahun mendatang. Para pejabat saat ini, kata Kiai Abdul Hayyie, 30 tahun lalu adalah remaja yang dibesarkan dengan budaya yang masih relatif bersih. “Saya, tahun 1950-an,” kenangnya, “bersama teman-teman adalah remaja yang hobi tidur dan bermain di masjid. Itu pun jadinya kayak sekarang. Apalagi remaja kita saat ini 30 tahun mendatang.”

Kepedulian akan masa depan remaja itu pula yang menggerakkan hatinya mendampingi Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, mengasuh Majelis Taklim Nurul Mustafa, yang mayoritas jemaahnya remaja tanggung. (AIS-Oktober2005)

K.H. Suharbillah, Surabaya

K.H. DR. Suharbillah

Melestarikan Tradisi Silat Pesantren

Ia dikenal sebagai kiai dan pendekar pencak silat. Supaya lebih kuat, ilmu bela diri itu harus dilengkapi dengan ilmu batin, berupa tirakat, doa, dan berbagai wirid.

Maraknya fenomena supranatural pada awal 2004 – yang juga ditunjang oleh media massa – rupanya cukup menggelisahkan kalangan ulama pesantren. Bukan hanya karena penggunaan idiom-idiom keagamaan untuk memamerkan kemampuan supranatural, tapi juga kekhawatiran akan ekses negatif yang merusak mentalitas dan akidah umat.

Yang paling gerah tentu saja para kiai, yang kebetulan bersentuhan langsung dengan bidang supranatural – yang dalam bahasa agama disebut ilmu hikmah. Salah seorang di antaranya ialah K.H. Muhammad Suharbillah, pengajar di Pondok Pesantren Sidoresmo, Surabaya, yang juga guru besar pemimpin Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa, yang bernaung di bawah panji-panji Nahdlatul Ulama.

Menurut pendekar pencak silat yang bertubuh tegap, tinggi besar, dan bercambang lebat itu, maraknya bisnis ilmu hikmah di zaman modern sekarang ini tidak terlepas dari budaya serba instan di masyarakat. “Sekarang ini masyarakat kan maunya serba praktis dan instan. Ingin mempunyai kekuatan dan kemampuan, tapi tidak mau belajar dan bersusah payah,” katanya.
Gara-gara kecenderungan itu, kata Kiai Suhar, muncullah orang-orang yang mengaku bisa mentransfer kekuatan gaib, tentu dengan imbalan uang, sehingga seseorang bisa mendadak sakti. Untuk melengkapi daya pikat, mereka menggunakan nama diri aneh-aneh. Ada yang pakai Ki atau Romo, ada pula yang pakai Gus, padahal dia bukan putra seorang kiai. Dalam tradisi pesantren, putra seorang kiai biasanya memang dipanggil Gus.

“Parahnya, ilmu yang disenangi masyarakat biasanya justru yang aneh-aneh dan rada gendheng (agak gila). Apalagi biasanya pembelajarannya sepotong-sepotong. Ini berbahaya. Sebab, pengajaran instan itu biasanya tidak dilengkapi dengan ilmu tauhid dan akhlak, hingga rentan terhadap munculnya kemusyrikan, karena salah niat. Juga karena mengultuskan sesuatu, dan karena kesombongan,” tambahnya.

Lahir di Desa Prambon, Tugu, Trenggalek, Jawa Timur, pada 1948, selepas Pendidikan Guru Agama di kampung halamannya, ia nyantri di Pesantren Kedunglo, Kediri, selama setahun. Kemudian ke Surabaya melanjutkan pendidikan di Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri. Usai sekolah di Surabaya, Suhar kembali ke Kedunglo. Baru satu tahun mondok, ayahnya wafat. Ia pun kemudian pindah ke Surabaya mengikuti abangnya yang menjadi anggota KKO-AL (kini Marinir AL).

Di Surabaya, meski kuliah di IAIN, ia ingin tetap tinggal dan mengaji di pesantren. Maka ia pun memilih Pesantren Sidoresmo – lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Dresmo – untuk nyantri. “Alhamdulillah, kok kerasan sampai sekarang. Bahkan saya masih punya kamar di asrama putra, yang saya tempati sejak pertama kali nyantri,” kenang Kiai Suhar.
Tanpa terasa, sudah 37 tahun Kiai Suhar mengabdi di pesantren yang didirikan oleh Sayid Ali Ashghar, putra Sayid Sulaiman Bethek, Mojoagung, Mojokerto. Bahkan selama 35 tahun ia dipercaya sebagai kepala sekolah. Belakangan ia juga ditugasi sebagai koordinator kepala sekolah di lingkungan Yayasan An-Najiyyah.

Sabung Bebas
Ketika Suhar mulai nyantri, Pesantren Dresmo diasuh oleh K.H. Mas Muhajir, cicit sang pendiri. Dari kiai yang alim dan wara’ itu, Suhar merasa ikut kecipratan berkahnya. “Dulu saya pernah sowan minta ijazah ini-itu tetapi selalun ditolak,” kenang Suharbillah. “Waktu itu beliau cuma bilang, ‘Gampang, sampeyan niku tanggungan kula.’ (Gampang, Anda itu tanggungan saya). Alhamdulillah, hingga kini setiap kali menghadapi masalah berat, saya selalu mengirim surah Al-Fatihah dan bertawasul kepada Allah SWT melalui beliau, dan Allah pun selalu membukakan jalan.”

Mengajar di sekolah, bagi kiai Suhar, yang hingga kini belum berkeluarga, memberi kenikmatan tersendiri. Di samping mengajar, ia juga melatih pramuka. Bahkan di luar kegiatan pesantren, ia pun mengasuh sebuah perguruan pencak silat di kampung halamanya. Ia mengaku, banyak hal bisa didapat dan disumbangkannya melalui pramuka dan pencak silat. Berkat ketekunan mengurus pramuka dan pencak silat, Kwartir Daerah Pramuka Jawa Timur memberangkatkan dia naik haji pada 1994. Dua tahun ia kembali menunaikan ibadah haji atas biaya Gus Dur sebagai penghargaan atas jasa-jasanya mengembangkan Pagar Nusa. Baru pada 2002 ia berhaji atas biaya sendiri. “Pada haji terakhir itu saya ingin benar-benar datang sebagai Suharbillah saja, tanpa embel-embel apa pun.”

Perkenalan Suharbillah dengan dunia pencak silat dimulai sejak ia masih duduk di sekolah dasar. Guru pencak pertamanya ayahnya sendiri, yang memang seorang pendekar. Dan dari sang ayah itulah minat dan bakat pencak silatnya menurun. Bakat itu semakin subur ketika pertama kali ia nyantri di Pesantren Kedunglo. Di pesantren bercorak salaf itu memang sering digelar pertandingan pencak silat sabung bebas.

“Sejak itulah saya semakin mencintai seni bela diri tradisional tersebut. Kebetulan setelah di Surabaya saya juga mengaji di Pesantren Dresmo, yang pengasuhnya seorang kiai pendekar dan pencinta ilmu bela diri,” tuturnya. Sejak dulu Pesantren Dresmo memang dikenal memiliki kelebihan dalam olah kanuragan alias kesaktian. Hingga kini semua kiai dan sesepuh pesantren membuka diri membantu umat, dari konsultasi agama, perkawinan, pindah rumah, sampai masalah-masalah yang berkaitan dengan kanuragan.

Selama mempelajari ilmu pencak silat, Suhar sempat mendapat pengalaman berharga. Dalam Pekan Maulid di Daha, Kediri, pada 1960-an, ia menyaksikan atraksi pencak silat yang jurus-jurusnya unik. Ia langsung tertarik mempelajarinya. Suhar menganggap jurus itu begitu sederhana, sehingga ia mengira dalam empat atau lima hari sudah bisa menguasainya. Ia lalu berguru jurus yang disebut Cikaret itu kepada Pak Markaban, di Jagalan, Kediri. Belakangan baru disadari, ternyata untuk menguasai satu jurus saja ia harus berlatih selama tiga bulan. Bahkan untuk gerakan bantingan, ia menghabiskan waktu dua tahun lebih.

Sejak zaman Walisanga, pencak silat (lengkap dengan ilmu hikmahnya) memang merupakan tradisi pesantren. Para kiai tempo dulu rata-rata memang pendekar tangguh. Sebelum babat alas (merintis) pesantren, mereka membekali diri dengan ilmu bela diri, baik fisik maupun batin, antara lain berguru ke beberapa pesantren di Banten, Dresmo Surabaya, atau ke Buntet Cirebon. “Ilmu agama dan ilmu bela diri merupakan pasangan bekal dakwah yang diajarkan sejak zaman Walisanga,” tutur Kiai Suharbillah. Tradisi itu menguat ketika para kiai dan santrinya harus menghadapi penjajah, baik di zaman Belanda maupun awal kemerdekaan. Begitu pula di tahun 1960-an, ketika Partai Komunis Indonesia mendominasi kehidupan politik dan secara tak langsung meminggirkan peran kaum muslimin.

Pagar Bangsa
Pada 1970-an, kesadaran akan pentingnya seni bela diri tumbuh kembali, dan muncul gagasan untuk membentuk sebuah wadah untuk memelihara dan mengembangkannya. Ketika itulah, dipelopori oleh Gus Maksum dari Pesantren Lirboyo, beberapa kiai berkumpul membentuk sebuah organisasi bernama Perkasa (Pertahanan Kalimat Syahadat). Sekitar 15 tahun kemudian, Gus Maksum, Kiai Suhar, dan beberapa pendekar lainnya bertemu kembali. Ketika itulah muncul nama baru, yaitu Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama. Belakangan, atas usul alm. K.H. Anas Thohir, nama organisasi disempurnakan menjadi Pagar Nusa (pagar NU dan bangsa), sehingga namanya menjadi IPS NU Pagar Nusa.

Hikmah berdirinya Pagar Nusa baru dirasakan oleh Kiai Suhar pada 1998, sekitar 13 tahun kemudian, terutama ketika terjadi kasus pembunuhan terhadap beberapa kiai NU oleh segerombolan orang bertopeng seperti layaknya ninja. Persis sebagaimana dipesankan oleh para kiai sepuh ketika mendirikan Pagar Nusa. Ketika itu mereka berpesan, “Suk emben, Ngger, bakal ana gegeran neng pesantren (Suatu saat nanti, Nak, akan ada huru-hara di dunia pesantren).”

Untuk belajar dan mempraktikkan bela diri pencak silat, kalangan pesantren sebelumnya lazim melalukan tirakat seperti puasa dan membaca wirid dengan dosis tertentu untuk mendukung doa mohon perlindungan, pertolongan, dan kekuatan lahir batin kepada Allah SWT. “Dalam keyakinan kami, bentuk pertolongan dan kekuatannya seperti apa, itu terserah kepada Allah SWT. Bisa secara langsung, bisa juga melalui perantaraan makhluk lain, seperti malaikat, jin muslim, atau orang biasa, sesuai kapasitas orang yang meminta atau kadar kebutuhannya,” kata Kiai Suhar.

“Lha wong bantuan Allah SWT kepada Rasulullah SAW dalam Perang Badar saja melalui ribuan malaikat yang turun berduyun-duyun. Sedangkan jika tirakatnya tidak karena Allah SWT, pasti yang membantu ya setan,” ujarnya. Karena itu, ia berpesan agar umat Islam tidak gampang tergoda memiliki khadam (pembantu) berupa jin. “Selain hal itu tidak dibenarkan agama, minta pertolongan kepada bangsa jin risikonya sangat berat. Jika tidak kuat, bukan tak mungkin jin itu justru akan mengganggu mental atau keluarga dan keturunannya,” katanya lagi.

Menurut Kiai Suhar, ilmu hikmah berupa “tenaga dalam” berbasis Asmaul Husna sesungguhnya untuk melengkapi keterbatasan ilmu silat. Ilmu silat sebagai sarana untuk mengolah energi dalam tubuh manusia dilakukan dengan latihan olah napas. Untuk mengatasi keterbatasan fisik tersebut, ilmu bela diri harus diperkuat dengan zikir dan doa. Sementara, untuk mengantisipasi kecelakaan dalam latihan, seorang pendekar harus membekali diri dengan ilmu pengobatan, seperti ilmu pijat, ramuan tradisional, atau rangkaian doa-doa syifa’ (pengobatan) yang diajarkan oleh Rasulullah SAW melalui para ulama ahli hikmah. (AIS-Januari 2006)

6.3.06

Ustad Muammar ZA

H. Muammar Z.A.

Al-Quran Membawaku Keliling Dunia

Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Quran, mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari lereng gunung, lembah, ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja.

Malam baru saja beranjak, ketika sesosok pria yang masih terlihat muda menaiki panggung dan duduk di kursi yang disediakan. Usai salam dengan suara rendah cenderung serak, pria berperawakan ramping itu mulai membaca ta’awudz dan basmalah. Dengan mata setengah terpejam, perlahan, ia mulai mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama bayati, lagu pembuka qiraah yang bernada rendah.

Perlahan tapi pasti suara itu meningkat, terkadang melengking tinggi, melantun panjang. Di depannya, ratusan orang bagaikan tersihir, terkesima mendengarkan lantunan suaranya yang naik-turun mengirama, bagaikan gelombang ombak yang susul-menyusul menghampiri pantai. Tak jarang, setiap kali alunan suaranya berhenti untuk mengambil napas, puluhan kepala, seperti tersadar dari hipnotis, segera menggeleng takjub.

Ia memang “legenda”. Meski Musabaqah Tilawatil Quran secara rutin digelar di berbagi tingkatan, belum ada satu pun yang menyamainya. Hampir semua umat Islam Indonesia, terutama di pedesaan, jika ditanya siapakah qari yang paling dikenal di Indonesia, jawabnya pasti Ustaz H. Muammar Z.A.

Suaranya yang merdu serta keindahan iramanya dalam melantunkan Al-Quran begitu termasyhur. Kelebihan ini pula yang mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari desa-desa di lereng gunung, tepi lembah dan ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan mengantarkannya masuk ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya yang khas mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja. Ia penah mengaji di istana Raja Hasanah Bolkiah, istana Yang Dipertuan Agong Malaysia, sampai istana raja-raja di Jazirah Arab.

Awal Juli, Alkisah mengunjungi pria kelahiran Pemalang ini di kediamannya di depan Masjid Al-Ittihad, di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ayah satu putri dan empat putra ini bertutur renyah, diselingi tawa segar.

Naik Tandu
“Saya ini anak kampung yang beruntung bisa keliling dunia, bisa mengaji saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah dan saat bermalam di Mina. Bahkan, pada tahun 1981, saya diberi kesempatan masuk ke dalam Ka’bah,” tuturnya haru. “Wah, nggak kebayang sebelumnya. Di dalam Ka’bah saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit.”

Lebih dari 25 tahun, Muammar melanglang buana, melakukan perjalanan yang menurutnya sangat mengasyikan. Dalam menghadiri undangan mengaji, ia pernah mencoba berbagai kendaraan, dari mulai naik pesawat pribadi, pesawat komersial, limousine, ojek, sampai tandu. Medan pegunungan Jawa Barat, tuturnya, yang paling sering membuatnya ditandu. Sementara pedalaman Kalimantan dirambahnya dengan glotok, ojek perahu mini yang mampu menjangkau sungai-sungai kecil di pedesaan.

Suatu ketika, ceritanya, ia diundang mengaji di beberapa tempat di daerah Garut. Qari yang puluhan kasetnya masih terus dicari orang ini menempuh perjalanan Bandung-Garut-Cikajang-Singajaya dengan kendaraan roda empat. Namun perjalanan berikutnya yang naik-turun gunung harus dilaluinya dengan ojek, dan terakhir jalan kaki menyusuri jalan setapak.

Kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Muammar tidak mampu lagi berjalan. Panitia yang mengawalnya pun berinisiatif untuk menyewa tenaga orang kampung untuk menandunya sampai di lokasi pengajian. Setelah berjalan kaki selama empat jam, ia pun tiba. Dan yang membuat semangatnya bangkit kembali, ternyata, ratusan hadirin masih dengan setia menunggu kehadirannya.

“Sampai di tempat pengajian jam dua belas malam, saya langsung mengaji,” kenang pangasuh Pesantren Ummul Qura, Cipondoh, ini. “Selesai mengaji, jam setengah dua, kami turun. Sampai di kota Garut jam setengah delapan pagi.”

Tidak sekali-dua kali perjalanan seperti itu dilakoninya. Belum lama ini, untuk kesekian kalinya, Muammar menghadiri undangan ke Cianjur bagian selatan, daerah Cikendir, yang juga harus dilalui dengan jalan kaki berjam-jam di jalan setapak berlumpur. Pulangnya, ia kelelahan. Dan akhirnya, lagi-lagi, ditandu.
Ia memang tidak pernah memilih-milih tempat atau pengundang. Baginya, selama ada waktu, dan kondisi fisiknya memungkinkan, pasti dengan senang hati ia akan hadir. Dari koceknya ia membayar sekitar 500 ribu kepada para pemandunya.

“Niat saya itu kan berkhidmah,” tutur Muammar dengan rendah hati. “Istana, saya datangi. Pelosok kampung pun, saya kunjungi.”

Ia meyakini, ia bisa terus mengaji. Dan kariernya terus langgeng seperti sekarang ini, antara lain, berkat doa orang-orang yang tinggal di pelosok desa dan pegunungan yang pernah dihadirinya mereka itu. “Mereka itu betul-betul ikhlas, baik, dan jujur,” katanya tulus.

“Bayangkan, untuk menghadiri pengajian saya, mereka sampai harus berjalan puluhan kilometer. Bahkan ada yang membawa bekal dan kompor, serta masak di perjalanan.”

Dalam perjalanan berkhidmah ini pula, Muammar pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon menjelang tahun 1990-an. Mobilnya hancur dan ia pun terluka parah. Cukup lama ia harus menginap di rumah sakit. Saat itulah Muammar merasakan kedekatan dengan para ulama yang bergiliran menjenguknya. Tak jera, setelah pulih ia pun kembali menjelajahi pelosok tanah air, untuk melantunkan firman-firman Tuhannya.

Sejak Belia
Meski masih terlihat cukup muda, Ustaz Muammar tahun ini menginjak usia 51 tahun. Ia dilahirkan di Dusun Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, sekitar 40 kilometer selatan ibu kota Kabupaten Pemalang, dari pasangan H. Zainal Asyikin dan Hj. Mu’minatul Afifah, ulama dan tokoh masyarakat di desanya. Muammar adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Namun hanya sembilan yang masih hidup. Belakangan, adiknya, Imron Rosyadi Z.A., juga mengikuti jejaknya menjadi qari nasional setelah menjuara MTQ. Adiknya yang bungsu, Istianah, kini menjadi salah satu anggota DPRD Tingkat I Yogyakarta.

Muammar mengenal qiraah sejak belia. Ia memang berasal dari keluarga qari. Ayah dan kakak-kakaknya dikenal bersuara merdu. Sang ayah adalah pemangku masjid di dusunnya, yang setiap akhir malam melantunkan tarhiman, selawat dan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang guna mendirikan salat Subuh.

Waktu kecil, ia, bersama teman-temannya, belajar seni baca Al-Quran dari teman lain yang lebih besar, yang kebetulan menguasai beberapa lagu. Di samping itu Muammar mulai keranjingan terhadap qiraah, belajar secara serius pada kakaknya, Masykuri Z.A. Namun karena kakaknya tinggal di sebuah pesantren yang cukup jauh dari desanya, pelajarannya baru akan bertambah jika Masykuri pulang ke rumah ketika liburan.
Namun demikian bakat Muammar mulai kelihatan. Tahun 1962, ia menjuarai MTQ tingkat Kabupaten Pemalang untuk tingkat anak-anak, mewakili SD-nya.

“Waktu itu saya masih memakai celana pendek saat mengaji, he he he,” kenang Muammar.
Sekitar awal tahun ‘60-an, suara dan lagunya memang sudah mulai bagus, meski hafalan suratnya masih terbatas. Ia sudah mulai diundang untuk mengaji di acara-acara pengajian atau pengantinan di kampungnya. Dan lucunya, ayat yang dibaca itu-itu saja. Ketika kakaknya pulang dari pesantren, barulah hafalan ayat dan lagunya bertambah.

Selepas SD, Muammar sempat nyantri di Kaliwungu, Kendal, sebelum melanjutkan ke PGA di Yogyakarta. Selesai PGA, ia sempat juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di Kota Gudeg, ia melanjutkan kiprahnya di bidang seni baca Al-Quran. Muammar mengikuti MTQ tingkat Provinsi DIY yang diadakan oleh Radio Suara Jokja tahun 1967. Ia berhasil menyabet juara pertama untuk tingkat remaja. Tahun-tahun berikutnya, Muammar ikut lagi dan kembali juara. Tahun itu juga, ia mewakili DIY ikut MTQ tingkat nasional di Senayan tingkat remaja, namun ia belum meraih juara.

Sejak itu, Muammar menjadi langganan tetap kontingen DIY di MTQ Nasional, tahun 1972, 1973, dan seterusnya. Tahun 1979, ia bahkan terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia di sebuah haflah, semacam MTQ internasional, yang diselenggarakan di Mekah. Gelar juara nasional pertama kali diraihnya di MTQ Banda Aceh tahun 1981. Kali ini ia mewakili DKI Jakarta. Muammar yang saat itu tengah belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Ciputat, mendapatkan hadiah sebuah televisi. Pemerintah Provinsi DKI sendiri kemudian memberi tambahan bonus hadiah, ibadah haji.

Namun, tidak seperti kariernya di bidang tarik suara, dalam pendidikan Muammar mengakui kurang berhasil. Kuliahnya di PTIQ yang tinggal skripsi tidak selesai. Waktu itu, kata sang qari, ada perubahan peraturan yang agak mendadak. Jika semula syarat ujian skripsi itu hafal lima juz Al-Quran, tiba-tiba diubah menjadi 30 juz.
“Wah, saya nggak siap,” ujar Muammar jujur. Meskipun demikian, uniknya, setelah menjadi juara nasional dan qari internasional, ia justru diminta mengajar di sana.

Tidak Berpantang
Ditanya mengenai rahasia suaranya, suami Syarifah Nadiya ini dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep rahasia apa pun. “Dalam hal-hal seperti itu, saya cenderung rasionalis,” ungkap Muammar. “Saya nggak begitu percaya pada hal-hal begituan, seperti nggak boleh makan ini-itu, harus cukup tidur, atau harus tidur jam segini. Bahkan saya jarang tidur lho, apalagi sebelas hari ini saya selalu pulang pagi.”

Ia pun mengakui, meski dulu pernah sekali ikut-ikutan mencoba, tidak berani ikut gurah. “Saya nggak berani ikut,” katanya. “Apalagi yang enggak jelas. Karena, salah-salah malah merusak pita suara. Kalau cuma melegakan, mungkin ya. Tapi kalau dipaksakan begitu lalu saraf tenggorokannya putus, kan malah jadi penyakit, he he he.” Sebenarnya, kata Muammar, kalau memahami tata cara wudu yang benar dan menerapkannya, itu juga sudah menjadi gurah. Misalnya ketika istinsyaq, memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkan lagi dengan keras.

Disinggung bagaimana kiatnya menjaga suara, qari yang pernah diundang mengaji di istana Yang Dipertuan Agong Malaysia dan Sultan Hasanah Bolkiah, Brunei, ini mengaku hanya memasrahkan diri kepada Allah. “Niat saya mau ngaji lillaahi ta’ala, ‘Ya Allah, tolong saya’.” Namun yang pasti, setiap bangun tidur ia selalu melakukan warming up, pemanasan, dengan rengeng-rengeng, menggumamkan nada-nada tilawah. Demikian juga ketika akan mengaji. Menurutnya ini penting, untuk menghindari kaget.

Berbeda dengan para penyanyi yang banyak mempunyai pantangan, terutama makanan dan minuman, Muammar menyantap hampir semua makanan dan minuman yang disukainya. Bahkan, makanan kesukaannya adalah sambel, lalap, dan ikan asin, yang harus selalu ada di meja makannya.

“Saya hanya memastikan, ketika saya mau ngaji, kondisi badan saya fit,” ungkapnya, berbagi resep. “Baru kemudian, kunci terpentingnya adalah mengaji dengan ikhlas dan perasaan senang.”

Bagi Muammar, mengaji dengan ikhlas dan senang hati itu menjadi hiburan dan kenikmatan tersendiri. Maka, tak mengherankan, setiap kali melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, ia tampak begitu menikmati. Terkadang matanya setengah terpejam, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pokoknya saya dengerin sendiri, karena memang pada dasarnya saya suka.” Itu, menurutnya, membuatnya mampu mengaji minimal setengah jam, jika di dalam kota. “Karena mereka kan sering ketemu saya. Tapi kalau di luar kota, terlebih di luar Jawa, saya bisa satu jam, bahkan lebih.”

Dalam satu hari biasanya ia mengaji di tiga sampai empat tempat. Di beberapa tempat, terkadang ia juga berceramah, biasanya jika mubalignya tidak datang. Mengaji itu pula yang mempertemukannya dengan sang istri tercinta, ketika sang pujaan hati yang dinikahinya pada tahun 1984 itu duduk dalam kepanitiaan sebuah pengajian di Kemanggisan. Buah pernikahan dengan wanita berdarah Aceh itu kini sebagian telah beranjak remaja.
Lia Fardizza, putri sulung qari yang pernah berguru kepada Syekh Abdul Kholil Al-Mishri, qari besar Negeri Piramid, kini menginjak semester ketiga di London School, jurusan bahsa Inggris. Sejak TK, Lia memang gandrung dengan bahasa internasional tersebut, terlihat dari hobinya membaca komik-komik berbahasa Inggris. Belakangan ia juga gemar mendendangkan lagu-lagu Barat. Tidak mengherankan, dialek lisannya, menurut Muammar, cenderung ke Amerika.

Putra-putranya, Ahmad Syauqi Al-Banna, kini duduk di kelas 3 SMU, Husnul Adib Al-Hasyim kelas 2 SMP, Raihan Al-Bazzi, kelas 4 SD, dan si bungsu Ammar Yua’yyan Al-Dani, kelas 3 SD. Di antara lima anaknya, tiga di antaranya mewarisi keindahan suara sang ayahanda, Lia, Raihan, dan Ammar. Namun karena keterbatasan waktu serta kesibukan Muammar, diakuinya, potensi putra-putrinya itu belum tergarap.

Menurutnya, qari yang baik itu harus memiliki suara yang bagus, napas panjang, penguasaan lagu, dan dialek yang bagus. Dan, membentuk dialek itu tidak gampang. Orang Jawa, misalnya, akan cukup sulit mengucapkan huruf ba’ dengan benar. Ia sendiri mengaku cukup lama mempelajari dialek Al-Quran dengan memperhatikan dialek qari-qari dari Mesir, Arab, dan daerah Timur Tengah lainnya.

Qari lokal yang bagus, menurut Muammar, biasanya yang berasal dari pesantren Al-Quran yang kebetulan pengasuhnya juga seorang qari mumpuni. Ini karena sang kiai biasanya mempunyai kelengkapan ilmu qiraah dan kepekaan, maka pembelajaran qiraahnya juga dilengkapi dengan ilmu tajwid, makharijul huruf (ilmu pelafalan huruf Al Quran), dzauq (cita rasa bahasa), dan sebagainya.

Dari Pedesaan
Karena itulah, sejak empat tahun Muammar memulai pembangunan sebuah pesantren di daerah Cipondoh, yang dinamakannya Ummul Qura. Karena seorang qari, ia bercita-cita menyebarkan tradisi qiraah ini melalui pesantrennya ini, sebagai sumbangan pada bangsa. “Kalau Allah mengizinkan,” kata Muammar, “saya ingin mencetak Muammar-Muammar baru.” Melalui lembaganya itu pula, ia mengharapkan, seni baca Al-Quran akan kembali dicintai dan dikagumi umat Islam.

Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang komprehensif, mulai dari TK, SD, SMP, sampai SMA yang mempunyai nilai plus, Al-Quran. Ia mengharapkan bisa membekali santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Al-Quran, baik tajwid, qiraah, dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz-nya (hafalan Al-Quran). Paling tidak, targetnya setamat SD atau SMP para santri akan mampu membaca Al-Quran dengan fasih, baik, dan benar.

“Terlebih dengan lingkungan yang Islami di pesantren, setidaknya mereka akan mempunyai pegangan hidup.”
Pada tahap awal, sudah dibangun sebuah masjid, ruang baca, dan dua buah gedung asrama. Ke depan ia ingin membangun sekolah formal dulu, baru kemudian akan diasramakan. Namun, karena keterbatasan dana, sementara ini pembangunan Pesantren Ummul Qura tersebut tersendat.

Tanggal 22 Juli kemarin di Gorontalo diselenggarakan Seleksi Tilawatil Quran tingkat nasional. Namun, tidak seperti pada dasawarsa ‘80-an, event empat tahunan yang diselenggarakan untuk menjaring bibit-bibit baru qari dan qariah serta penghafal dan mubalig berbasis Al-Quran ini sepertinya tak lagi memiliki gaung.
“Akhir-akhir ini semangat mendalami seni membaca Al-Quran di masyarakat kita ini memang cenderung mengalami penurunan,” tutur qari yang pernah diminta membaca Al-Quran saat wukuf di Padang Arafah. “Apalagi kecintaan terhadap Al-Quran.”

“Belakangan ini, perhatian orang, terutama generasi mudanya, lebih tercurah ke kontes-kontes musik yang memang lebih memikat,” ujar tokoh berusia 51 tahun ini gundah. “Sementara MTQ, dari dulu kemasannya tidak pernah berubah.” Ia merindukan, MTQ ke depan akan mempunyai gereget dan gaung yang besar, seperti pada masa-masanya dulu.

Lebih lanjut, Muammar juga mengharapkan optimalisasi peran lembaga resmi yang dibentuk untuk mengembangkan seni baca Al-Quran, Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran. Idealnya, lembaga tersebut tidak hanya sibuk menjelang pelaksanaan STQ atau MTQ, atau menjaring bahan jadi, tetapi secara intensif dan konsisten menggali dan membina bibit unggul sejak dari tingkat dusun. “Selama ini, bukankah juara-juara tilawah justru banyak muncul dari pedesaan, yang ekonominya pas-pasan....” (AIS-September 2005)