6.3.06

KH Ilyas Ruchiyat

K.H. Moh. Ilyas Ruhiyat, Cipasung

Telaga Hikmah, Pemersatu Kiai NU

Dengan pendekatan yang sejuk, warga NU, yang pasca-Muktamar Cipasung terpecah dua, kembali bersatu. Ketika merasa tugasnya menyatukan ormas Islam terbesar itu usai, ia mengundurkan diri dari jabatan tertinggi di NU untuk kembali mengajar di pesantrennya yang damai.

Ketika itu, Muktamar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1994, baru saja usai. Namun, kegundahan menghinggapi sebagian besar warga NU. Gara-gara campur tangan penguasa Orde Baru, perhelatan lima tahunan NU itu berakhir dengan pecahnya para pengurus menjadi dua kelompok: yang pro Gus Dur dan yang pro Abu Hasan. Kelompok kedua ini kemudian menggelar muktamar luar biasa di Asrama Haji Pondokgede, Bekasi.

Di tengah kemelut itu, untunglah rais am, jabatan tertinggi dalam kepengurusan PBNU, dipegang oleh seorang ahli tasawuf yang sangat arif, bijak, dan lemah lembut – yang diharapkan dapat mengimbangi langkah Ketua Tanfidziah terpilihnya, Gus Dur, yang terkenal biasa berjalan secara zig-zag.

Lima tahun kemudian, harapan sebagian besar anggota ormas keagamaan terbesar itu terwujud. Dengan pendekatan yang menyejukkan, satu per satu warga NU kembali bersatu. Tapi, ketika merasa tugasnya untuk menyatukan NU sudah selesai, bapak tiga anak itu memilih kembali mengajar di pesantrennya di lereng Gunung Galunggung, Tasikmalaya, yang damai, jauh dari ingar-bingar politik.

Padahal saat itu banyak yang mencalonkannya kembali untuk memangku jabatan tertinggi di NU. Ketika ia mengundurkan diri, banyak kalangan merasa kehilangan sosok pemersatu. Dialah K.H. Moh. Ilyas Ruhiyat, pengasuh Pondok Pesantren Cipasung, di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mengakhiri jabatannya sebagai rais am PBNU di Mukatamar Lirboyo, 1999. Alasannya, ia ingin beristirahat karena merasa sudah sepuh, dan ingin berkonsentrasi mengurus pesantren.

Tiga minggu lalu, menjelang tengah hari, mobil Alkisah memasuki pelataran kompleks Pondok Pesantren Cipasung. Ketika itu suasananya tidak begitu ramai, karena sebagian santri masih berada di kelas. Hanya sebagian kecil yang tampak hilir-mudik di sekitar masjid di depan rumah kediaman Kiai. Beberapa santri yang masih mengenakan seragam sekolah sudah mengganti celana dengan sarung. Mereka menunggu waktu salat Zuhur dengan duduk bercengkerama di serambi masjid.

Setelah agak lama menunggu, seorang santriwati yang mengabdi di rumah kediaman kiai mempersilakan rombongan Alkisah masuk. Tak lama kemudian, dari balik pintu kamar keluarlah sesosok lelaki sepuh mengenakan baju koko merah hati, kain sarung tenun Samarinda, dan kopiah putih. Wajahnya tampak pucat dan letih. Ajengan Ilyas, begitu ia biasa disapa, memang baru sembuh setelah beberapa bulan menderita sakit yang cukup berat.

Meski demikian, ayahanda pelukis dan penyair Cecep Zamzam Noor, Ida Nur Halida, dan Nunung Nur Sa’idah itu berusaha selalu tersenyum lembut dan berbincang ramah, tapi agak terbata-bata, dengan rombongan wartawan dan fotografer Alkisah. Senang memuliakan tamu memang sudah menjadi sifat yang melekat dan terkenal pada diri kiai yang mengasuh 2.300 orang santri itu. Bahkan, menurut para santri, separah apa pun ia selalu berusaha menerima dan melayani tamu-tamunya.

Karena sakit itu pula, untuk sementara pengajian kitab Ihya Ulumuddin, yang biasa dibawakannya setiap Kamis pagi, diliburkan. Pengajian itu diikuti sekitar 50 kiai di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya serta beberapa santri senior Cipasung. Selain itu ia juga mengajar kitab Fathul Qarib dan Fathul Mu’in – khusus untuk santri-santri senior.

Ia adalah putra K.H. Ruhiyat, pendiri Pondok Pesantren Cipasung yang wafat pada 1977 dalam usia 66 tahun. Dari istri pertama, kiai yang pernah berjuang dan dipenjara bersama pahlawan nasional K.H. Zaenal Musthofa Singaparna ini dikaruniai 14 orang putra-putri, sedang dari istri kedua 13 anak. Ia mengaku tidak pernah nyantri di mana pun kecuali kepada ayahnya. Dari ayahnya pula, terbangunlah kearifan dan kebijaksanaan Kiai Ilyas, yang lahir pada bulan Januari 1934, dan mengasuh Pesantren Cipasung sejak 28 November 1977.

Ia memang sosok yang dikenal sangat demokratis dan ngemong. Misalnya, ketika putranya, Cecep Zamzam Noor, memilih masuk ke jurusan seni rupa di Institut Teknologi Bandung dan akhirnya menjadi seniman, ia tetap mendukung dan merestuinya. Ketika Alkisah menanyakan pilihan hidup putranya tersebut, dengan tersenyum Ajengan mengatakan, ia berharap putra-putrinya menjadi orang yang bermanfaat bagi agama dan sesama. Dan untuk menjadi manusia yang bermanfaat, orang bisa menempuh jalan mana pun juga selagi tidak bertentangan dengan syariat.

Di mata para santri, sosok kiai yang tidak pernah terlihat marah ini dianggap sebagai “kitab akhlak” berjalan – karena setiap perilaku Ajengan mengandung nilai dan inspirasi keteladanan. Menurut Agus R.W., salah seorang ustaz Cipasung, selama puluhan tahun nyantri di Cipasung ia belum pernah sekali pun menyaksikan Ajengan Ilyas marah. Menurutnya, Kiai Ilyas juga sangat sabar dan telaten, bahkan sempat membaca koran sampai pada iklan-iklannya.

Sikap bijaknya juga terlihat ketika para pengurus pesantren menghadapi masalah santri yang melanggar peraturan: jika hukuman terlalu ringan bisa dianggap sepele, tapi jika terlalu berat akan diprotes oleh wali santri. Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya Kiai Ilyas menyetujui pembentukan majelis tahkim, majelis pengadilan, yang terdiri dari keluarga kiai dan pengurus pondok ditambah pembela. Untuk kasus yang sangat berat, pengambilan keputusan tertinggi diserahkan kepada pengasuh pesantren.

Tepat tengah hari, azan Zuhur berkumandang dari masjid pesantren. Sebelum berpamitan, wartawan Alkisah mohon kepada Kiai Ilyas agar berkenan secara khusus mendoakan wartawan dan fotografer serta keluarga besar majalah ini. Suasana haru segera menyelimuti ruang tamu Ajengan yang santun dari Cipasung itu ketika dengan lirih ia memanjatkan doa yang cukup panjang, diamini wartawan dan fotografer kita.

Wajahnya tidak berubah, tetap jernih dan memancarkan keikhlasan. Saat itulah tiba-tiba hadir kegundahan baru yang menyeruak di hati: betapa para ulama sepuh yang begitu tulus ikhlas membimbing dan mengayomi umat semacam Ajengan Ilyas sudah semakin langka – dan akan terus berkurang seiring dengan perputaran zaman.
(AIS-2005)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home