Teungku Muhibbudin Waly
Teungku DR. Muhibbuddin Waly
Pewaris Mahkota Spiritual Serambi Mekah
Ia ulama keturunan Syekh Mudo Waly, ulama besar Minangkabau masa lalu. Ia menerima ijazah tarekat dari beberapa mursyid, termasuk dari Syekh Alawy Al-Maliky.
Puluhan ulama besar duduk berjajar di deretan kursi paling depan. Hari itu, Ahad pagi minggu terakhir Maret lalu, adalah upacara pembukaan Muktamar X Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah di depan Pendopo Kabupaten Pekalongan. Ada seorang di antaranya yang tampak menonjol. Di tengah ribuan ulama dan kiai yang rata-rata berpakaian putih itu, ia mengenakan jubah dan serban hitam. Wajahnya yang teduh tampak begitu tenang.
Keesokan malamnya, wajah jernihnya kembali muncul di Bahtsul Masail Diniyah Thariqiyah, sebuah forum pembahasan masalah-masalah tarekat dan tasawuf, yang digelar di Masjid Simbang Kulon, Pekalongan. Lagi-lagi, ketenangan dan kelembutan gaya bicaranya dalam menjabarkan pemikiran tasawuf tampak membedakannya dari beberapa tokoh lain yang berdebat malam itu. Dialah Almursyid Prof. Dr. H. Teungku Muhibbuddin Waly, ulama besar ahli tawasuf dan hukum Islam asal bumi Serambi Mekah. Di muktamar yang baru pertama kalinya ia hadiri ini, satu-satunya acara yang sangat ingin diikutinya ialah bahtsul masail tersebut.
Abuya Muhibbuddin, demikian ia akrab disapa, adalah putra Syekh Muhammad Waly, guru Tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di Tanah Rencong, yang sebenarnya berasal dari Minangkabau. Dari ayahandanya, yang di Ranah Minang lebih dikenal dengan julukan Syekh Mudo Waly, mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Mudo Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang waliullah yang termasyhur di Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syekh Mudo Waly juga mewarisi karisma dan karamahnya. Konon, ia pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap.
Syekh Mudo Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal Padang) saat mereka berguru kepada Sayid Ali Al-Maliky, kakek Sayid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah. Karena persahabatan itu pula, beberapa tahun lalu Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Abuya.
Diceritakan, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya sowan kepada tokoh Suni yang baru saja wafat pertengahan Ramadan lalu. Ketika itu Sayid Maliky bertanya, siapakah gerangan tamunya tersebut. Abuya lalu menjelaskan, ia adalah putra Syekh Mudo Waly, murid Sayid Ali Al-Maliky. Mendengar itu, Sayid Maliky menangis haru dan memeluk Abuya, kemudian mengijazahkan semua ilmu tarekatnya. Hal yang sama sekali tak diduga sebelumnya oleh Abuya.
Pertemuannya dengan Syekh Yasin Al-Fadany juga penuh dengan isak tangis mengharukan. Setelah memeluk Abuya erat-erat, sambil terus memegang tangannya, Syekh Yasin mengijazahkan semua hadis Rasulullah SAW yang dikuasainya.
Guru Mursyid
Untuk pertama kalinya, tempo doeloe di masa remaja, Abuya Muhibbuddin belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepada ayahandanya. Setelah dianggap cukup, belakangan, Syekh Mudo Waly menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya, Syekh Abdul Ghani Al-Kampary (dari Kampar). Saat itu di pesisir laut Sumatra ada dua mursyid besar yang tinggal di Riau. Mereka termasyhur sebagai min jumlatil awlia (termasuk wali-wali Allah), yaitu Syekh Abdulghani Al-Kampary, yang kebanyakan murid-muridnya terdiri dari para ulama; dan Syekh Abdul Wahhab Rokan (dari Rokan), yang murid-muridnya adalah orang-orang awam.
Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh Muhammad Nadzim Al-Haqqany.
Silaturahmi dan selalu belajar kepada para ulama besar memang kebiasaannya yang sudah mendarah daging, bahkan hingga kini. Selalu teringat wasiat ayahandanya, “Jika engkau bertemu dengan orang alim, janganlah pernah mendebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya, lalu cium tangannya.”
Menurutnya, setiap ulama pasti mempunyai kelebihan yang bisa diteladani. Ia memberi contoh beberapa gurunya. Abah Anom, misalnya, yang sangat istikamah dalam beribadah dan ihtiramul ‘ulum (menghormati ilmu); atau Sayid Muhammad bin Alwy Al-Maliky dan Syekh Yasin Fadany, yang sangat alim dan luas pengetahuannya.
Syekh Muhibbuddin Waly mengambil gelar doktor di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan disertasi tentang Pengantar Ilmu Hukum Islam. Lulus 1971, waktu kuliahnya terbilang singkat. Di Al-Azhar, teman satu angkatannya antara lain mantan Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Wah, Gus Dur itu sehari-hari kerjaannya cuma membaca bermacam-macam koran,” kenangnya sambil terkekeh.
Kini, setelah kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir 2004 lalu, ia lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat dan menulis. Ada beberapa buku tentang tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi tarekat yang diberinya judul Capita Selecta Tarekat Shufiyah. Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga kitab yang diharapkannya akan menjadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya, yaitu Tafsir Waly (Tafsir Al-Quran), Fathul Waly (Komentar atas Kitab Jauharatut Tauhid), dan Nahjatun Nadiyah ila Martabatis Shufiyah (sebuah kitab tentang ilmu tasawuf).
Syair Tawasul
Dan ternyata ia pun mewarisi darah para pujangga Minang. Hal itu, misalnya, terbukti dari kemahirannya menulis syair. Belum lama ini ia mengijazahkan Syair Tawasul Tarekat yang digubahnya dalam dua bahasa, Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan proses perjalanan suluknya, diselingi doa tawasul kepada para pendiri beberapa tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya.
Untuk beberapa waktu belakangan ini ia tinggal di Kompleks Perumahan Anggota DPR RI di Kalibata, Jakarta Selatan. Rupanya gempa dan badai tsunami yang menerjang Serambi Mekah turut meluluhlantakkan rumahnya di belakang Masjid Jami’ Baiturrahman Banda Aceh beserta seluruh isinya, termasuk ratusan kitab, buku, dan dokumentasi sejarah perjalanan hidupnya. Namun, alhamdulillah, Allah SWT masih menyelamatkan nyawa pewaris mahkota spiritual Tanah Rencong ini. Ketika tsunami datang, Abuya tengah menghadiri undangan untuk memberi pengajian tarekat dan menerima baiat para muridnya di Pekanbaru.
Kini, di usianya yang terbilang senja, Abuya mengaku tak lagi sekuat dulu dalam berkhidmat kepada agama, nusa, dan bangsa. Namun, ia tetap berusaha melayani umat. Karena itu ia membagi jadwal kegiatan bulanannya menjadi tiga. Bulan pertama tinggal di Jakarta; bulan kedua ia habiskan di Aceh; bulan ketiga melayani undangan ke daerah-daerah lain.
Meski begitu, aktivitas menulisnya ia lakukan saat berada di Jakarta. Setiap pagi, selepas salat Duha, mursyid tarekat yang kini menampung dua anak yatim korban tsunami itu, duduk di sebuah musala di kampung yang terletak di luar Kompleks DPR. Di sanalah ia menuangkan buah pemikirannya. Sepagian ia hanya ditemani sebuah notebook; dan terkadang, bersama Agung, salah seorang muridnya yang membantunya, menata kertas dan me-lay out hasil tulisannya. Selepas zuhur ia pulang untuk istirahat, dan baru kembali ke musala setelah isya. Bahkan terkadang sampai larut malam ia menghabiskan waktu di tempat yang sangat jauh dari kebisingan kota itu.
Mengenai perkembangan tarekat dewasa ini, ia menyatakan, “Saat ini ada pergeseran nilai (bertambahnya fungsi tarekat – Red.) di kalangan pengikut tarekat. Jika di masa lampau tarekat diikuti oleh orang yang benar-benar hendak mencapai makrifatullah, kedekatan dengan Allah, sekarang ini tarekat malah sering jadi tempat pelarian bagi orang-orang yang menemukan kebuntuan dalam hidup.”
Mengenai hubungan guru dan murid dalam tarekat, ia berpendapat, seorang mursyid adalah pengemudi biduk pengembaraan spiritual muridnya. Oleh karena itu, seorang mursyid seyogianya juga menjadi musahhil, yaitu orang yang membantu kemudahan sang murid dalam melewati beberapa maqamat atau terminal spiritualnya.
(AIS-April 2005)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home