KH Muhaiminan, Parakan
K.H. Muhaiminan Gunardo
Penerus Semangat Perjuangan Bambu Runcing
Ia sangat peduli pada gonjang-ganjing bangsa. Maka ia pun berkeliling tanah air: memimpin istigasah, menghibur umat, memberikan nasihat kepada pemerintah.
Jemaah istigasah menyambut Muktamar Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah yang memadati Masjid Jami’ Pekalongan baru saja menarik napas, setelah sebelumnya melantunkan syair Simthud Durar. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Di shaf terdepan, sesosok tegap berpakaian putih-putih, lengkap dengan serban dan jubah, tampak khusyuk melantunkan tawasul kepada para aulia pendiri tarekat. Menilik perawakan dan suaranya, orang seakan tak percaya bahwa usianya telah melampaui 83 tahun.
Pembacaan doa-doa istighatsah yang baru selesai sepertinya tak menyisakan keletihan di wajahnya yang selalu segar. Dialah K.H.R. Muhaiminan Gunardo dari kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Tema istighatsah malam itu, sebagaimana istighatsahnya yang lain, ialah memohon keselamatan bangsa dari berbagai bencana yang belakangan menghantam bertubi-tubi. Semangat kebangsaan pengasuh Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, ini memang luar biasa.
Usianya memang sudah cukup senja. Tapi kiprahnya semakin mengukuhkan profil ulama pejuang ini. Kepeduliannya akan gonjang-ganjing perjalanan bangsa mengantarkan langkahnya ke berbagai pelosok tanah air. Baik untuk memimpin istigasah, ngayemi-ayemi (menghibur) umat, maupun memberikan nasihat langsung kepada pemerintah.
Seperti yang dilakukannya pertengahan Januari lalu, ketika Mbah Nan – demikian orang-orang dekatnya lazim menyapanya – berinisiatif mengajak beberapa sahabatnya untuk mengunjungi Aceh. Maka beberapa ulama pun ia gandeng: K.H. Abdullah Faqih (Langitan, Loamongan), K.H. Chotib Umar (Jember), K.H. Sofyan (Situbondo), K.H. Mas Subadar (Pasuruan), dan K.H. Abdurrahman Chudori (Tegalrejo, Magelang). Mereka berkunjung ke bumi Serambi Mekah untuk bertemu para ulama di sana.
Maka dibuatlah kesepakatan: 13 Januari lalu meraka berkumpul di Jakarta, lalu bersama-sama terbang ke Aceh. Muhibah para kiai tersebut, menurut Mbah Nan, sebagai pengingat, sampai sekarang pun para kiai masih selalu siap tanggap terhadap setiap bencana yang menimpa bangsa. Perjuangan Mbah Nan, yang aktivitasnya belakangan bertambah karena menjadi anggota Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, sepertinya tak kenal lelah, tak kenal berhenti.
Besarnya kepedulian K.H.R. Muhaiminan Gunardo itu mungkin bukan sesuatu yang luar biasa jika dibandingkan dengan sejarah kejuangan kota Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, tempat Ponpes Kyai Parak Bambu Runcing yang diasuhnya berdiri. Dalam sejarah perjuangan bersenjata merebut kemerdekaan, kota kecil Parakan tak bisa dilepaskan dari bambu runcing – senjata andalan para pejuang kemerdekaan dalam revolusi bersenjata.
Lasykar Hizbullah
Di masa-masa awal revolusi fisik itu, setiap hari ribuan pejuangan mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka dari ke front-front pertempuran di Magelang, Ambarawa, Ungaran, dan Semarang. Beberapa di antaranya bahkan datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Adalah Kiai Subeki atau Mbah Subki, saat itu 90-an tahun, magnet yang menarik mereka ke Parakan. Setelah wafat ia dijuluki Kiai Parak Awal.
Sebelum berangkat ke medan pertempuran, para pejuang – rata-rata anak-anak anggota Lasykar Hizbullah – sowan kepada kiai sepuh yang sangat tawaduk ini. Oleh Mbah Subeki mereka didoakan, dan satu per satu senjata mereka dijamah sambil berdoa: Bismillahi bi ‘aunillah. Ya Hafidz, ya Hafidz, ya Hafidz. Allahu akbar, Allahu akbar, Allah akbar (Dengan menyebut nama Allah, dengan pertolongan Allah. Wahai Zat yang Maha Menjaga, Allah, yang Mahabesar).
Begitulah “ijazah doa” yang diberikan oleh Mbah Subeki kepada para pejuang, yang kemudian terbukti menambah keberanian dan rasa percaya diri di medan perang. Bahkan diyakini mendatangkan perlindungan Allah dari hujan peluru dan bom lawan. Sejak itu, setiap hari ribuan orang memasuki Parakan untuk nyuwuake (memohonkan doa) buat senjata mereka. Mulai dari bambu runcing, pestol, bedil, karaben, bahkan kanon.
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren, mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman – yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Parakan sendiri daerah unik, karena merupakan pertemuan berbagai budaya, sebagaimana diceritakan oleh Saifudin Zuhri, “Sejak tertangkapnya Pangeran Diponegoro, sisa-sisa prajurit Mataram dalam taktik mengundurkan diri bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang.
Daerah dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro itu menjadi tempat bertemunya bermacam-macam sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan yang bercampur antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu, keberanian rakyat Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang.
Pencak Silat
Itulah Parakan, kota kecil tempat lahirnya K.H.R. Muhaiminan Gunardo. Ia adalah putra Raden Abu Hasan, yang lebih dikenal dengan nama K.H. Sumomihardho – salah seorang keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II. Sementara ibundanya, Hj. Mahwiyah, adalah putri Kiai Badrun, sesepuh Parakan yang berpengaruh karena kedalaman ilmu agamanya.
Sejak muda, Kiai Muhaiminan – yang termasuk dalam forum Kiai Khos Langitan – gemar berolahraga, khususnya pencak silat, yang digelutinya di sela-sela mengaji kepada beberapa ulama besar. Tamat Sekolah Rakyat di Parakan, ia mengaji kepada K.H. Dalhar alias Mbah Dalhar (Pesantren Watucongol, Magelang), ulama besar yang pernah selama delapan tahun berkhalwat – mengasingkan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan tafakur) kepada Allah SWT – di Gua Hira, tempat Rasulullah SAW melakukan hal yang sama, beruzlah. Mbah Dalhar juga dikenal sebagai mursyid Tarekat Syadziliyah yang termasyhur.
Selepas dari Watucongol, Muhaiminan muda melanjutkan pengembaraannya dalam menuntut ilmu kepada K.H. Maksum (Lasem, Rembang), Kiai Muhajir di Bendo (Pare, Kediri), lalu ke Pesantren Tebuireng, Jombang.
Selain mengaji ilmu agama, di setiap pesantren yang disinggahinya Muhaiminan mendalami ilmu pencak silat. Pendekar tangguh yang pernah menjadi gurunya, antara lain, K.H. Nahrowi atau Ki Martojoto. Ia juga mendalami ilmu pencak silat di pesantren terakhir yang disinggahinya, yaitu Ponpes Dresmo (Surabaya), yang memang terkenal dengan keampuhan olah kanuragannya.
Sehari-hari, Mbah Minan selalu menyempatkan diri mendidik ratusan santrinya, dan mendampingi kurang lebih 30 orang pengajar. Terutama dalam mujahadah – zikir untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah – dan istigasah setiap bakda magrib dan setiap malam Jumat dan Selasa Kliwon. Sementara pengelolaan sehari-hari pesantren yang berdiri pada 1955 itu diserahkan kepada sebuah kepengurusan yang dinamakan Idarah Ma’had Kiai Parak Bambu Runcing.
Idarah tersebut juga membawahkan beberapa lembaga yang mengurus kepentingan pesantren dan umat. Termasuk Lembaga Seni Bela Diri Garuda Bambu Runcing (LGBR), perguruan pencak silat yang mengajarkan dua jenis ilmu bela diri, yakni pencak silat sebagai bela diri fisik dan bela diri batin. LGBR tidak hanya diikuti para santri, tapi juga warga masyarakat umum. Hingga kini anggota aktifnya kurang lebih 45.000 orang, bahkan telah memiliki beberapa cabang di Jawa dan Sumatra.
Kemasyhuran Kiai Muhaiminan Gunardo dan pesantrennya dalam dunia spiritualitas memang telah membuah bibir di kalangan umat Islam, khususnya di Jawa Tengah. Di luar aktivitas keilmuan dan kanuragan, pesantren yang terletak di dataran tinggi eks Karesidenan Kedu ini memang selalu ramai dikunjungi orang. Baik yang hendak berkonsultasi masalah kehidupan, berguru ilmu hikmah, maupun untuk mengaji tasawuf kepada Mbah Nan.
Mengikuti jejak gurunya, Kiai Dalhar Watucongol, ia juga menjadi mursyid Tarekat Sadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Ketika terjadi heboh pembunuhan terhadap para kiai dan santri pada 1999 – yang terkenal sebagai “kasus ninja”, karena pembunuhnya bertopeng seperti ninja – pesantren ini menjadi tujuan utama warga nahdliyin yang belajar membentengi diri.
Barangkali memang sudah menjadi ketentuan Allah SWT bahwa ulama Parakan secara turun-temurun ditugasi menjadi benteng pertahanan terakhir umat dalam menghadapi berbagai kesulitan. Bisa dimaklum jika langkah Kiai Muhaiminan sepertinya masih harus panjang – selama keadaan Indonesia belum memenuhi harapan yang dicita-citakan para ulama pendahulunya. (AIS-April 2005)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home