6.3.06

KH Thonthowi Djauhari

K.H.A. Thonthowi Djauhari Musaddad

Menghijaukan Tanah, Memberdayakan Umat

Ketika para kiai lain sibuk mengajar kitab kuning, ia malah keluar-masuk desa mengajak masyarakat menghijaukan lahan. Baginya, menyelamatkan lingkungan sama wajibnya dengan menyempurnakan ibadah.

Siang itu, aula Pesantren Syifaus Shudur di pinggiran kota Garut, Jawa Barat, dipenuhi para kiai, ustaz, dan para pengurus Nahdlatul Ulama tingkat kecamatan sekabupaten Garut. Selama dua hari mereka menggodok rencana pelaksanaan program Pembangunan Desa Mandiri Berbasis Kesalehan Sosial.

Narasumber yang tengah memberikan pengarahan hari itu ialah seorang pria yang masih tergolong muda, dengan bendo (blangkon Sunda) di kepalanya. Sesekali bendo berwarna kuning gading itu ia lepas dan diletakkan di meja karena ia kegerahan. Gayanya yang bersemangat dan sedikit jenaka tak sedikit pun mengurangi bobot keilmuan yang disampaikannya. Dialah K.H. Ahmad Thonthowi Djauhari, M.A., rais syuriah Pimpinan Cabang NU Garut, sekaligus pengasuh Pesantren Luhur Al-Wasilah di Jalan Cipanas, Tarogong, Garut.

Belakangan ini, di sela-sela tugas mengajarnya, alumnus Jurusan Tafsir Hadis Universitas Ummul Qurra, Mekah, ini sibuk mengurus program pelatihan Pembangunan Desa Mandiri Berbasis Kesalehan Sosial, yang lahir dari gagasannya. Program ini merupakan tindak lanjut program reboisasi yang digulirkannya medio 2002 lalu di 14 titik di Garut. Di tangan kiai muda kelahiran Yogyakarta 22 Oktober 1958 ini, NU Garut, yang bersinergi dengan Al-Wasilah, menjadi lokomotif perubahan masyarakat. Masyarakat pun mengikuti pelatihan yang digelar dengan dukungan Pemerintah Daerah Garut.

Perhatian kepada lingkungan memang demikian besar dicurahkan oleh putra almarhum Prof. K.H. Anwar Musaddad ini; karena ia yakin, pelestarian lingkungan merupakan bagian kesempurnaan ibadah. “Kerusakan lingkungan terjadi karena kerusakan moral manusia,” katanya. “Dan pengobatan kerusakan moral manusia, tidak bisa tidak, harus melibatkan agama.”

Bagi Ajengan Totok, demikian ia biasa disapa, persoalan keseimbangan lingkungan hidup terkait erat dengan masalah ibadah, misalnya salat. Lebih lanjut suami Hj. Anis Afifah ini menjelaskan, di antara syarat sahnya salat adalah suci dari hadas, dan proses bersuci harus menggunakan air bersih pula. Maka, pengadaan atau pemeliharaan air bersih dan suci hukumnya wajib juga, sebaliknya mencemari sumber air hukumnya haram. Sebagaimana kaidah ushul fiqh, Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun: sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib.

Keyakinan inilah yang mengukuhkan tekad Kiai Totok; meski ia menyadari, organisasi dan pesantren tak punya cukup dana untuk menjalankan program. Walau demikian, dengan prinsip La haula wa la quwwata illa billah – Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah – ia tetap melangkah. Tutor-tutor pelatihannya adalah teman-temannya sendiri, baik dari Garut, Bandung, maupun Jakarta.

Kiprahnya melestarikan alam diakui oleh pemerintah. Pada 14-17 November 2000 ia ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi Internasional tentang Lingkungan Hidup yang diselenggarakan oleh World Bank dan WWF di Khatmandu, Nepal.

Empat Ton Buku
Ia anak kesembilan dari 16 bersaudara, putra pasangan almarhum Prof. K.H. Anwar Musaddad dan Rd. Atikah, putri Kiai Qurthubi. Selama di sekolah dasar ia menyelesaikannya di tiga kota. Kelas satu hingga dua di Yogyakarta, lalu meneruskan di Garut hingga kelas IV, sedangkan kelas V hingga tamat ia selesaikan di Bandung. Setelah lulus ia nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, untuk memperdalam ilmu agama serta bahasa Inggris dan Arab. Setelah enam tahun di Gontor, enam bulan berikutnya ia memperdalam penghafalan Al-Quran di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo, Jawa Tengah.

Di pesantren ini ia jatuh hati pada kemenakan gurunya, K.H. Ahmad Umar Abdul Manan. Sebelum berangkat ke Mekah ia memberanikan diri meminang pujaan hatinya, putri sulung Kiai Ahmad Djisam Abdul Mannan, Gondang, Sragen, Jawa Tengah. Tapi, pernikahan tidak bisa segera dilaksanakan, karena alasan belajar. Pada 1978, ia berangkat ke Mekah, dan kembali pulang pada 1980 untuk menikah. Tahun berikutnya ia memboyong istrinya ke Mekah, dan keduanya belajar pada jurusan Tafsir Al-Quran-Hadis di Ummul Qurra University. Mereka pulang pada 1989. Tak lama kemudian Thonthowi kembali ke Mekah untuk melanjutkan S2-nya di perguruan tinggi yang sama.

Ketika belajar di Mekah, ia menghabiskan waktu di perpustakaan dan toko buku untuk membaca dan mencari buku. Meski mengambil jurusan tafsir hadis, buku-buku mengenai semua disiplin ilmu pun ia baca. Di luar perpustakaan, waktu luangnya ia habiskan di toko buku, baik di Mekah maupun Jedah. Setiap kali ada pameran kitab, di Mekah, Jedah, maupun Riyadh, ia menyempatkan diri mengunjungi.

Ia juga menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli kitab. Maka, ketika pulang dari Mekah pada 1993, ia membawa koleksi kitab yang beratnya mencapai empat ton. Kini sebagian buku dan kitab-kitab tersebut tersusun rapi di rumahnya, Jalan Ciledug, Garut, sementara sebagian lainnya ia simpan di perpustakaan Pesantren Al-Wasilah dan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Musaddadiyyah.

Kini, setelah 25 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, ia dianugerahi Allah empat orang putri yang sudah berangkat dewasa, dan seorang putra yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Meski dikenal sebagai figur yang sangat toleran, dalam mendidik anak-anaknya ia tetap berusaha mengarahkannya dengan sebaik-baiknya. Bahkan dalam beberapa hal tertentu ia terkesan keukeuh. Padahal, ketegasannya ini semata-mata untuk membantu anak-anaknya menentukan prioritas pendidikan, berdasarkan bakat masing-masing. Tak mengherankan, dua putri sulungnya yang kini tengah menyelesaikan pendidikan di Pesantren Gontor Putri, Halimah dan Rosyidah, telah mengikuti jejak orangtuanya sebagai penghafal Al-Quran. Sementara putri ketiganya, Azizah, baru menapaki jenjang di Institut Pertanian Bogor.

Pulang dari pendidikannya di Mekah, Kiai Totok memulai babak baru dengan mengabdi kepada agama dan masyarakat. Di sela-sela kesibukannya sebagai dosen di STAI Al-Musaddadiyah dan Fakultas Ekonomi Universitas Garut, serta mengasuh pesantren mahasiswi Al-Musaddadiyah, ia masih sempat aktif di beberapa organisasi. Antara lain sebagai ketua Rabithah Ma’ahidil Islamiyah Jawa Barat (1999-2002), wakil sekretaris Syuriyah PWNU Jawa Barat (1996-1999), wakil ketua Jam’iyatul Quro Wal Huffadz nasional (1999-2004), dan rais Syuriyah PCNU Garut yang masih diembannya hingga kini.

Lintas Agama
Seni tampaknya juga bergelora dalam jiwa kiai yang lebih sering berpenampilan low profile ini. Ia bergabung dengan Kalang Budaya (Kalbu), yang bertugas menyusun strategi pengembangan kebudayaan di Jawa Barat, beranggotakan 21 tokoh. Sejak 2002 ia juga diminta menjadi salah seorang pembina dan sesepuh grup seni sunda ”Uning Galih” Bandung.

Pada 1996, Kiai Thonthowi mendapat kesempatan mewujudkan obsesinya mendirikan sebuah pesantren luhur bernama Al-Wasilah di Tarogong Garut, berdekatan dengan objek wisata pemandian air panas Cipanas. Tanahnya hibah dari ibundanya yang ingin menjariahkan lahan tersebut untuk pembangunan sebuah pesantren atas nama sang kakek, K.H. Qurthubi.

Semangat Pesantren Al-Wasilah adalah memberdayakan para santri penghafal Al-Quran yang sebagian besar belum mendapat bekal pengetahuan lanjutan. Ia prihatin jika potensi mereka terhenti, baik karena biaya maupun ketiadaan akses pengembangan. Melalui Al-Wasilah, ia memulai proyek pengembangan potensi huffadz dalam pengertian luas, mulai dari kebutuhan materiil selama belajar, materi pendidikan lanjutan, sampai pada penyaluran pascapendidikan.

Ketika gagasan mulia itu ia sampaikan kepada para ulama pengasuh pesantren se-Jawa Barat, ia mendapat dukungan besar. Namun, hingga kini jumlah santrinya baru 12 orang. “Sebab, memang sulit mencari santri yang hafal Al-Quran. Makanya sampai sekarang baru belasan orang yang masuk. Target kami bisa menampung seratusan santri,” ujarnya.

Program pendidikan di pesantren itu gratis. Mulai dari pendidikan bahasa Arab dan ilmu-ilmu pendukungnya, dilanjutkan penguasaan ilmu-ilmu Al-Quran dan tafsirnya. “Dengan penguasaan tafsir dan ilmu tafsir secara lengkap, tentu menghasilkan pemahaman yang lentur. Kalau hanya merujuk pada tafsir Al-Quran secara dogmatis, orang akan melihat Islam itu kaku,” kata kiai Thonthowi.

Kini, setiap bulan Pesantren Al-Wasilah menjadi tempat berkumpul para ulama dari seluruh penjuru Garut dan sekitarnya. Di sini para kiai mendiskusikan berbagai hal, mulai dari persoalan agama sampai masalah kebangsaan kontemporer. Pertemuan ini dinamakan halaqah, diskusi, yang selalu berlangsung dinamis dan penuh perdebatan.
Hal lain yang membedakan Al-Wasilah dari pesantren lain ialah keterbukaannya sebagai tempat berkumpul para tokoh berbagai agama. Pertemuan lintas agama ini digagas oleh Kiai Totok, yang sering kali diundang menjadi narasumber dalam dialog antarumat beragama di Gereja Santa Maria, Garut.

Belakangan Al-Wasilah juga menjadi tempat kaderisasi ulama muda dari keluarga pesantren, yang diharapkan akan menjadi penerus pesantren. Untuk tahap awal program ini diikuti sekitar 30 orang kiai muda, tapi sekarang sedang dipersiapkan program untuk 40 orang. Materi yang diberikan kepada putra-putri ulama itu, antara lain, wawasan keilmuan dan literatur berbagai ilmu agama, juga manajemen pengelolaan pesantren masa depan.

Melihat masih cukup mudanya usia K.H.A. Thonthowi Djauhari, tentulah masih panjang pula ayunan langkahnya. Entah, dimensi kehidupan mana lagi yang akan dirambahnya untuk menyempurnakan status universalnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. (AIS-April 2005)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home