7.3.06

Drs. K.H. A. Hafizh Utsman, Bandung

Drs. K.H. A. Hafizh Utsman

Kiai Teguh dari Kota Kembang

Salah satu penyakit di masyarakat yang cukup menggelisahkannya adalah kebohongan. Baik yang dilakukan perorangan maupun oleh sistem.

Di awal tahun ‘80-an pemerintah Orde Baru mewajibkan seluruh pegawai negeri mengikuti salah satu partai politik bentukan rezim penguasa. Seorang ulama, yang saat itu merupakan pengajar di sebuah perguruan tinggi Islam negeri di Bandung, berani menolak dan tetep keukeuh pada pendiriannya membela NU, yang saat itu masih berfusi di PPP. Baginya, NU lebih bisa dipercaya daripada yang lain, karena sejelek-jeleknya orang NU pasti masih nggondheli dawuh ulama, mengikuti nasihat para ulama.

Hasilnya bisa ditebak, ia pun dipensiunkan dini oleh Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratuperwiranegara. Parahnya, haknya sebagai pensiunan pegawai negeri juga tidak jelas hingga kini. Kiai yang jika berbicara selalu tanpa tedeng aling-aling ini adalah K.H.A. Hafizh Utsman, ketua MUI Jawa Barat.

Lahir pada tahun 1940 di tempat diselenggarakannya Muktamar NU ke-13 dua tahun sebelumnya, Abdul Hafizh Utsman adalah putra kedua dari enam bersaudara pasangan Kiai Utsman dan Hj. Hamsah.

Masa kecilnya dihabiskan dengan mengaji kepada beberapa ulama di daerahnya. Di antaranya, K.H. Abdul Lathif, pengasuh Pesantren Nanggorak Banten yang juga rais syuriah Pandeglang dan dikenal sebagai ahli hadis. Ia juga sempat mendalami fikih kepada K.H. Ihya di Tegal, Menes. Lalu kepada K.H. Hayani, Manuntuk, Banten, yang ahli hikmah. Kepada gurunya ini, Kiai Hafizh, selain mendalami ilmu bahasa dan hadis, juga sempat mengkhatamkan kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Setamat dari sekolah formal di kampungnya, Kiai Hafizh mendapat beasiswa untuk mengikuti Takhasus Diniyyah Aliyah, pendidikan khusus agama tingkat tinggi, di Amuntai, Kalimantan Selatan, dari Dr. K.H. Idham Khalid. Karena naluri santri yang dimilikinya, ketika di Amuntai ia juga menyempatkan diri mengaji kepada K.H. Abdul Wahab Sya’roni.

Dari Amuntai ia hijrah ke Solo dan kuliah di di Kuliyyatul Qadla’, Fakultas Syariah, Universitas Nahdlatul Ulama, Solo (UNU), yang diselesaikannya pada 1966. Di Solo, ia juga mengaji dan mendapatkan ijazah manakib Syekh Abdulkadir Jailani dari Kiai Mudzakir, di samping mengaji secara pribadi kepada beberapa ulama besar lain saat itu.

Selesai kuliah, tahun 1967 Kiai Hafizh hijrah ke Bandung. Ia termasuk salah seorang yang ikut membidani kelahiran Universitas Islam Pasundan, yang setahun kemudian berubah menjadi IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Tahun 1968, ia diminta bergabung dengan Majelis Alim Ulama Jawa Barat, cikal bakal MUI Jawa Barat. Di lembaga milik pemerintah itu, bapak empat putra dan empat putri ini sempat menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat pada tahun 1990 sebelum akhirnya sejak tahun 2000 menjadi ketua MUI Jabar.

Mengenai lembaga yang dipimpinnya, ia berpendapat, “MUI adalah forum komunikasi cendekiawan muslim yang dibentuk oleh negara. Idealnya, seorang ulama berperan membawa kemaslahatan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebersamaan.”

“Masyarakat dan negara seyogianya tidak diposisikan berhadapan, melainkan berdampingan,” kata tokoh yang tinggal di perumahan DPRD Margasari, Bandung, Jawa Barat, ini. “Misalnya,” kata Kiai Hafizh, “Ulama menghukumi bahwa judi itu haram. Maka, pemerintah seharusnya segera menindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret.”

Kariernya di bidang politik, sebagaimana para pendahulunya di daerah Menes, selalu berada di gerbong Nahdlatul Ulama. Tahun 1971, misalnya, ia terpilih menjadi anggota DPRD Jabar mewakili Partai NU, dan tahun 1977 ia pun menjadi anggota DPR RI mewakili PPP. Ketika NU memisahkan diri dari PPP, Kiai Hafizh pun dengan setia tetap berada di organisasi yang didirikan oleh Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini.

Tahun 1989-1999 ia diminta mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid sebagai wakil ketua Tanfidziyah PBNU, dan lima tahun berikutnya ia pun menjadi salah satu rais syuriah PBNU. Ketika Gus Dur sakit keras, ia ditunjuk oleh PBNU untuk menjadi pejabat ketua umum.

Keluarga Demokratis
Dalam mendidik putra-putrinya, kiai yang satu ini cukup demokratis. Meskipun kepada putra-putrinya Kiai Hafizh selalu menyempatkan diri untuk menanamkan dasar-dasar pengetahuan dan pengamalan agama, dalam urusan hidup berbangsa dan bernegara ia menyerahkan sepenuhnya pada anak-anaknya. Mereka punya hak asasi untuk bersikap.

Terhadap sikap bijak orangtuanya ini, anak-anak Kiai Hafizh juga tahu diri. Saat ini hampir seluruh putra-putri kiai yang pemberani ini telah menyelesaikan bangku kuliah. Termasuk putra keenamnya, Muhammad Al Banna, yang kuliahnya di University of Baghdad sempat terhenti gara-gara invasi Amerika ke Negeri 1001 Malam itu.

Kini, di usianya yang sudah cukup senja, untuk tabungan akhirat, bersama saudaranya Kiai Hafizh mendirikan Perguruan Anwarul Hidayah, yang pengelolaannya dipercayakan kepada adiknya, Drs. H.M. Zuhri Usman, santri Kiai Dimyathi Pandeglang. Ia pun masih menyempatkan diri mengajar di beberapa majelis taklim di sekitar lingkungannya di Margasari Bandung. Bahkan setiap malam Minggu pekan kedua tiap bulan ia masih mengajar di Masjid Raya Jawa Barat, dengan membacakan kitab fikih terkenal, Umdatul Ahkam.

Mengenai agama dan masyarakat ini, Kiai Hafizh berkomentar, “Seharusnya agama sebagai keyakinan dan cita-cita itu bisa menjadi pengawas perilaku umatnya. Namun, sepertinya belakangan ini masyarakat tidak lagi mempunyai kekuatan dan rasa mantap dalam memikirkan kemasalahatan umum.”

Salah satu penyakit di masyarakat yang cukup menggelisahkannya adalah kebohongan. Baik yang dilakukan perorangan maupun oleh sistem, seperti misalnya kebohongan unsur-unsur pengadilan.

“Dalam Islam kan yang termasuk dosa besar adalah berbohong di pengadilan.”
Ketika ditanyakan solusinya, dengan menggeleng kepala Kiai Hafizh berkata, “Solusi dalam menghadapi berbagai persoalan yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa dan negara saat ini, kalau menurut konsep Suni, sudah tinggal mendoakan saja.”

Dan, menurutnya, “Ulama berkewajiban membimbing masyarakat berdoa dengan cara yang benar, misalnya dengan mengawali ‘doa’ tersebut dengan tobat dari segala kesalahan. Juga menyempurnakan tobat dengan mengembalikan hak-hak orang lain, baik hak materiil maupun hak sosial.”

Banyak orang yang menguasai dalil-dalil agama, tetapi tidak banyak yang berani teguh memperjuangkannya di segala situasi. Dari yang tidak banyak itu, barangkali, Kiai Hafizh Utsman ini salah satunya. (AIS-Mei 2005)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home