K.H. Suharbillah, Surabaya
K.H. DR. Suharbillah
Melestarikan Tradisi Silat Pesantren
Ia dikenal sebagai kiai dan pendekar pencak silat. Supaya lebih kuat, ilmu bela diri itu harus dilengkapi dengan ilmu batin, berupa tirakat, doa, dan berbagai wirid.
Maraknya fenomena supranatural pada awal 2004 – yang juga ditunjang oleh media massa – rupanya cukup menggelisahkan kalangan ulama pesantren. Bukan hanya karena penggunaan idiom-idiom keagamaan untuk memamerkan kemampuan supranatural, tapi juga kekhawatiran akan ekses negatif yang merusak mentalitas dan akidah umat.
Yang paling gerah tentu saja para kiai, yang kebetulan bersentuhan langsung dengan bidang supranatural – yang dalam bahasa agama disebut ilmu hikmah. Salah seorang di antaranya ialah K.H. Muhammad Suharbillah, pengajar di Pondok Pesantren Sidoresmo, Surabaya, yang juga guru besar pemimpin Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa, yang bernaung di bawah panji-panji Nahdlatul Ulama.
Menurut pendekar pencak silat yang bertubuh tegap, tinggi besar, dan bercambang lebat itu, maraknya bisnis ilmu hikmah di zaman modern sekarang ini tidak terlepas dari budaya serba instan di masyarakat. “Sekarang ini masyarakat kan maunya serba praktis dan instan. Ingin mempunyai kekuatan dan kemampuan, tapi tidak mau belajar dan bersusah payah,” katanya.
Gara-gara kecenderungan itu, kata Kiai Suhar, muncullah orang-orang yang mengaku bisa mentransfer kekuatan gaib, tentu dengan imbalan uang, sehingga seseorang bisa mendadak sakti. Untuk melengkapi daya pikat, mereka menggunakan nama diri aneh-aneh. Ada yang pakai Ki atau Romo, ada pula yang pakai Gus, padahal dia bukan putra seorang kiai. Dalam tradisi pesantren, putra seorang kiai biasanya memang dipanggil Gus.
“Parahnya, ilmu yang disenangi masyarakat biasanya justru yang aneh-aneh dan rada gendheng (agak gila). Apalagi biasanya pembelajarannya sepotong-sepotong. Ini berbahaya. Sebab, pengajaran instan itu biasanya tidak dilengkapi dengan ilmu tauhid dan akhlak, hingga rentan terhadap munculnya kemusyrikan, karena salah niat. Juga karena mengultuskan sesuatu, dan karena kesombongan,” tambahnya.
Lahir di Desa Prambon, Tugu, Trenggalek, Jawa Timur, pada 1948, selepas Pendidikan Guru Agama di kampung halamannya, ia nyantri di Pesantren Kedunglo, Kediri, selama setahun. Kemudian ke Surabaya melanjutkan pendidikan di Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri. Usai sekolah di Surabaya, Suhar kembali ke Kedunglo. Baru satu tahun mondok, ayahnya wafat. Ia pun kemudian pindah ke Surabaya mengikuti abangnya yang menjadi anggota KKO-AL (kini Marinir AL).
Di Surabaya, meski kuliah di IAIN, ia ingin tetap tinggal dan mengaji di pesantren. Maka ia pun memilih Pesantren Sidoresmo – lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Dresmo – untuk nyantri. “Alhamdulillah, kok kerasan sampai sekarang. Bahkan saya masih punya kamar di asrama putra, yang saya tempati sejak pertama kali nyantri,” kenang Kiai Suhar.
Tanpa terasa, sudah 37 tahun Kiai Suhar mengabdi di pesantren yang didirikan oleh Sayid Ali Ashghar, putra Sayid Sulaiman Bethek, Mojoagung, Mojokerto. Bahkan selama 35 tahun ia dipercaya sebagai kepala sekolah. Belakangan ia juga ditugasi sebagai koordinator kepala sekolah di lingkungan Yayasan An-Najiyyah.
Sabung Bebas
Ketika Suhar mulai nyantri, Pesantren Dresmo diasuh oleh K.H. Mas Muhajir, cicit sang pendiri. Dari kiai yang alim dan wara’ itu, Suhar merasa ikut kecipratan berkahnya. “Dulu saya pernah sowan minta ijazah ini-itu tetapi selalun ditolak,” kenang Suharbillah. “Waktu itu beliau cuma bilang, ‘Gampang, sampeyan niku tanggungan kula.’ (Gampang, Anda itu tanggungan saya). Alhamdulillah, hingga kini setiap kali menghadapi masalah berat, saya selalu mengirim surah Al-Fatihah dan bertawasul kepada Allah SWT melalui beliau, dan Allah pun selalu membukakan jalan.”
Mengajar di sekolah, bagi kiai Suhar, yang hingga kini belum berkeluarga, memberi kenikmatan tersendiri. Di samping mengajar, ia juga melatih pramuka. Bahkan di luar kegiatan pesantren, ia pun mengasuh sebuah perguruan pencak silat di kampung halamanya. Ia mengaku, banyak hal bisa didapat dan disumbangkannya melalui pramuka dan pencak silat. Berkat ketekunan mengurus pramuka dan pencak silat, Kwartir Daerah Pramuka Jawa Timur memberangkatkan dia naik haji pada 1994. Dua tahun ia kembali menunaikan ibadah haji atas biaya Gus Dur sebagai penghargaan atas jasa-jasanya mengembangkan Pagar Nusa. Baru pada 2002 ia berhaji atas biaya sendiri. “Pada haji terakhir itu saya ingin benar-benar datang sebagai Suharbillah saja, tanpa embel-embel apa pun.”
Perkenalan Suharbillah dengan dunia pencak silat dimulai sejak ia masih duduk di sekolah dasar. Guru pencak pertamanya ayahnya sendiri, yang memang seorang pendekar. Dan dari sang ayah itulah minat dan bakat pencak silatnya menurun. Bakat itu semakin subur ketika pertama kali ia nyantri di Pesantren Kedunglo. Di pesantren bercorak salaf itu memang sering digelar pertandingan pencak silat sabung bebas.
“Sejak itulah saya semakin mencintai seni bela diri tradisional tersebut. Kebetulan setelah di Surabaya saya juga mengaji di Pesantren Dresmo, yang pengasuhnya seorang kiai pendekar dan pencinta ilmu bela diri,” tuturnya. Sejak dulu Pesantren Dresmo memang dikenal memiliki kelebihan dalam olah kanuragan alias kesaktian. Hingga kini semua kiai dan sesepuh pesantren membuka diri membantu umat, dari konsultasi agama, perkawinan, pindah rumah, sampai masalah-masalah yang berkaitan dengan kanuragan.
Selama mempelajari ilmu pencak silat, Suhar sempat mendapat pengalaman berharga. Dalam Pekan Maulid di Daha, Kediri, pada 1960-an, ia menyaksikan atraksi pencak silat yang jurus-jurusnya unik. Ia langsung tertarik mempelajarinya. Suhar menganggap jurus itu begitu sederhana, sehingga ia mengira dalam empat atau lima hari sudah bisa menguasainya. Ia lalu berguru jurus yang disebut Cikaret itu kepada Pak Markaban, di Jagalan, Kediri. Belakangan baru disadari, ternyata untuk menguasai satu jurus saja ia harus berlatih selama tiga bulan. Bahkan untuk gerakan bantingan, ia menghabiskan waktu dua tahun lebih.
Sejak zaman Walisanga, pencak silat (lengkap dengan ilmu hikmahnya) memang merupakan tradisi pesantren. Para kiai tempo dulu rata-rata memang pendekar tangguh. Sebelum babat alas (merintis) pesantren, mereka membekali diri dengan ilmu bela diri, baik fisik maupun batin, antara lain berguru ke beberapa pesantren di Banten, Dresmo Surabaya, atau ke Buntet Cirebon. “Ilmu agama dan ilmu bela diri merupakan pasangan bekal dakwah yang diajarkan sejak zaman Walisanga,” tutur Kiai Suharbillah. Tradisi itu menguat ketika para kiai dan santrinya harus menghadapi penjajah, baik di zaman Belanda maupun awal kemerdekaan. Begitu pula di tahun 1960-an, ketika Partai Komunis Indonesia mendominasi kehidupan politik dan secara tak langsung meminggirkan peran kaum muslimin.
Pagar Bangsa
Pada 1970-an, kesadaran akan pentingnya seni bela diri tumbuh kembali, dan muncul gagasan untuk membentuk sebuah wadah untuk memelihara dan mengembangkannya. Ketika itulah, dipelopori oleh Gus Maksum dari Pesantren Lirboyo, beberapa kiai berkumpul membentuk sebuah organisasi bernama Perkasa (Pertahanan Kalimat Syahadat). Sekitar 15 tahun kemudian, Gus Maksum, Kiai Suhar, dan beberapa pendekar lainnya bertemu kembali. Ketika itulah muncul nama baru, yaitu Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama. Belakangan, atas usul alm. K.H. Anas Thohir, nama organisasi disempurnakan menjadi Pagar Nusa (pagar NU dan bangsa), sehingga namanya menjadi IPS NU Pagar Nusa.
Hikmah berdirinya Pagar Nusa baru dirasakan oleh Kiai Suhar pada 1998, sekitar 13 tahun kemudian, terutama ketika terjadi kasus pembunuhan terhadap beberapa kiai NU oleh segerombolan orang bertopeng seperti layaknya ninja. Persis sebagaimana dipesankan oleh para kiai sepuh ketika mendirikan Pagar Nusa. Ketika itu mereka berpesan, “Suk emben, Ngger, bakal ana gegeran neng pesantren (Suatu saat nanti, Nak, akan ada huru-hara di dunia pesantren).”
Untuk belajar dan mempraktikkan bela diri pencak silat, kalangan pesantren sebelumnya lazim melalukan tirakat seperti puasa dan membaca wirid dengan dosis tertentu untuk mendukung doa mohon perlindungan, pertolongan, dan kekuatan lahir batin kepada Allah SWT. “Dalam keyakinan kami, bentuk pertolongan dan kekuatannya seperti apa, itu terserah kepada Allah SWT. Bisa secara langsung, bisa juga melalui perantaraan makhluk lain, seperti malaikat, jin muslim, atau orang biasa, sesuai kapasitas orang yang meminta atau kadar kebutuhannya,” kata Kiai Suhar.
“Lha wong bantuan Allah SWT kepada Rasulullah SAW dalam Perang Badar saja melalui ribuan malaikat yang turun berduyun-duyun. Sedangkan jika tirakatnya tidak karena Allah SWT, pasti yang membantu ya setan,” ujarnya. Karena itu, ia berpesan agar umat Islam tidak gampang tergoda memiliki khadam (pembantu) berupa jin. “Selain hal itu tidak dibenarkan agama, minta pertolongan kepada bangsa jin risikonya sangat berat. Jika tidak kuat, bukan tak mungkin jin itu justru akan mengganggu mental atau keluarga dan keturunannya,” katanya lagi.
Menurut Kiai Suhar, ilmu hikmah berupa “tenaga dalam” berbasis Asmaul Husna sesungguhnya untuk melengkapi keterbatasan ilmu silat. Ilmu silat sebagai sarana untuk mengolah energi dalam tubuh manusia dilakukan dengan latihan olah napas. Untuk mengatasi keterbatasan fisik tersebut, ilmu bela diri harus diperkuat dengan zikir dan doa. Sementara, untuk mengantisipasi kecelakaan dalam latihan, seorang pendekar harus membekali diri dengan ilmu pengobatan, seperti ilmu pijat, ramuan tradisional, atau rangkaian doa-doa syifa’ (pengobatan) yang diajarkan oleh Rasulullah SAW melalui para ulama ahli hikmah. (AIS-Januari 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home