24.1.11

K.H. M. Dian Nafi'

DARI PESANTREN UNTUK PERDAMAIAN DUNIA


Tak ada yang menduga kiprahnya mendamaikan konflik horisontal di Maluku, Kalimantan Tengah dan Sulawesi akan membawa langkah kaki pengasuh pesantren tradisional ini ke ranah internasional .



Hampir satu dasawarsa silam beberapa wilayah di tanah air diguncang konflik berdarah antar-etnis dan penganut agama. Prihatin dengan keadaan tersebut berbagai pihak –baik lokal, regional, nasional, maupun internasional– turun tangan menawarkan perdamaian. Tak hanya dari kalangan pemerintah, ratusan aktivis dari organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat pun turut ambil bagian dalam proses tersebut.


Uniknya, di antara ratusan aktivis LSM alumnus perguruan tinggi Barat dan akademisi lokal yang concern dengan isu-isu perdamaian dan mediasi, ada seorang kiai pengasuh pesantren tradisional. Bukan sekedar memanjatkan doa, sang kiai muda itu juga terlibat aktif dalam seluruh rangkaian proses mediasi. Tak hanya itu, kegiatan sosial yang dianggapnya sebagai bagian dari suluk spiritualnya itu juga belakangan mengantarkan langkahnya ke berbagai negara. Baik untuk menimba ilmu, berbagi pengalaman dengan para aktivis negara lain, maupun sekadar menularkan pengetahuannya kepada orang lain.


Dan hebatnya, kehadiran sang kiai di komunitas global, lagi-lagi membuktikan keberhasilan pendidikan ala pesantren, yang setiap harinya selalu berupaya membuat para santri bergumul dengan nilai-nilai luhur agama dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Kiprahnya juga sekaligus menepis cibiran sementara kalangan yang sering mengidentikkan pesantren tradisional dengan umat Islam yang terbelakang, kampungan, dan kumuh, yang hanya tahu kitab kuning, kain sarung, dan kopiah.


Uniknya, meski sudah mendunia, keseharian sang kiai tetap lekat dengan irama pesantren tradisional yang rendah hati, santun, dan terbuka. Tentu, lengkap dengan sarung, kopiah, dan kitab kuningnya yang terbilang klasik.


Ruang tamunya yang terletak di samping mushalla pesantrennya jarang sepi dari kunjungan tamu lokal dan mancanegara yang ingin bertukar pikiran dengan sang tuan rumah yang tahun ini berusia 44 tahun itu. Dialah K.H. Mohammad Dian Nafi’, pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Sukoharjo, yang merupakan cabang Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Surakarta.


Dijumpai Penulis di serambi pesantrennya, beberapa waktu lalu, kolumnis tetap di harian Solopos itu bersedia berbagi tentang hak warga negara atas kehidupan yang damai. Baginya, kata damai tidak hanya berarti ketiadaan kekerasan, melainkan juga pulihnya hubungan, dan terbangunnya relasi sosial yang adil.


Ihwal keterlibatannya dalam dunia resolusi konflik bermula dari ketertarikannya pada bidang pemberdayaan untuk rekonsiliasi saat Ustadz Dian Nafi’ mengikuti pendidikan S-2 program studi Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Jakarta KPK Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dari perkuliahannya ia memahami, negara-negara berkembang bekas jajahan sering mengalami konflik berkekerasan yang mengemuka sebagai konflik horisontal dan menjadi sangat berbahaya saat idiom-idiom agama disertakan.


Pertemuannya dengan beberapa tokoh rekonsiliasi kemudian membawanya bergabung dalam Tim Independen Rekonsiliasi Ambon (TIRA), Tim Pemberdayaan Masyarakat Pasca-Konflik (TPMPK) Maluku Utara, dan lembaga-lembaga lainnya. Misalnya, Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjahmada, Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP) Yogyakarta, Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian (PPRP) Jakarta, Crisis Centre Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Common Ground Indonesia, dan sebagainya.


Pengungsi Lintas Pulau

Tahun 2000-2003, bersama timnya, Dian Nafi’ diterjunkan ke tengah medan konflik berkekerasan di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, untuk mendampingi pihak-pihak yang bertikai dalam proses perdamaian yang digagas lembaganya bersama berbagai pihak. Bukan pekerjaan yang mudah. Karena ia dan kawan-kawannya harus keluar-masuk hutan dan naik-turun gunung untuk menemui pihak-pihak itu, termasuk para pengungsi internal (internal displaced peoples) lintas pulau.


Sukses ia raih. Melalui proses yang panjang dan melelahkan, partisan konflik di wilayah-wilayah dampingannya bersedia bertemu dalam berbagai perundingan. Kesuksesan itu kemudian menjalar ke daerah lain. Timnya diminta ikut memfasilitasi pertemuan tokoh-tokoh Dayak dan Madura yang digelar di Jakarta dan Bogor.


Banyak pengalaman berkesan dan pelajaran berharga yang diperolehnya selama pendampingan. Ketika tengah mengunjungi komunitas muslim di Halmahera Utara, misalnya, ia pernah berkunjung ke kediaman imam masjid yang rata dengan tanah. Rumah sementara berdinding dan beratapkan seng, sebagian bekas, masih dipenuhi dengan puing-puing menghitam pertanda habis terbakar.


Imam masjid ini terjebak dalam kepungan di pagi buta. Pengepung menghunus senjata tajam. Menyadari posisinya yang terjepit, akhirnya ia pun berpasrah diri kepada Allah SWT. Ia ingat doa ‘Akasyah yang diajarkan gurunya di Banggai Kepulauan, tetapi ia lupa lafalnya. Yang keluar dari mulut sang Imam adalah “Allah … Allah … Allah”. Sang imam menerobos kepungan, berjalan perlahan-lahan, kemudian lari, dan sampai di jalan raya Desa Tahane, ia diselamatkan tentara yang segera mengangkutnya ke Sidangoli, kemudian menyeberang ke Ternate.


Sang Imam Masjid menyesal sekali buku doa itu ikut terbakar. Dian Nafi’ perlahan meraih sebuah buku doa. Majmu’ Syarif judulnya. Itu buku saku. Isinya kumpulan doa, wirid, dan surah-surah Al-Quran, yang selalu dibawanya setiap bepergian. Sang Imam kaget. Buku semacam itulah yang ia maksud. Sang Imam gembira sekali menerima. Menurutnya, itu lebih dari sekadar kenang-kenangan.


Di saat kerusuhan dan bencana, banyak ikhtiar maksimal terasa sudah sampai batas kemampuan manusia. Wajah pasrah sekaligus curiga terliat di mana-mana. Doa-doa menjadi lebih terasa dibutuhkan. Dan Majmu’ Syarif itu berguna. Buku itu akrab dengan kalangan Muslim di nusantara.


Doa ‘Akasyah adalah serangkaian doa panjang yang diajarkan Baginda Nabi kepada sahabatnya, ‘Akasyah. Alhamdulillah, buku kumpulan doa itu menjadi penyambung silaturrahmi dengan para Imam Masjid. Dukungan tokoh-tokoh ini sangat penting untuk mendekatkan pihak-pihak yang berseteru. Demikian kenang suami Ny. Hj. Murtafiah Mubarokah, yang dinikahinya tahun 2003.


Hari-harinya mendampingi korban kerusuhan, belakangan membuatnya bersyukur atas latar belakangnya sebagai santri. Budaya pesantren yang ramah pada perbedaan, tutur Kiai Dian, telah membekalinya wawasan bahwa di balik kemajemukan terdapat potensi besar untuk membangun integrasi bangsa Indonesia. Forum bahtsul masail diniyah (pembahasan status hukum agama tentang berbagai persoalan kontemporer) – yang sering berakhir mauquf (disudahi karena perbedaan pandangan tidak bisa dipertemukan seraya saling menghormati pendapat masing-masing), yang kerap diikutinya di pesantrennya – juga mengajarinya sikap bijak dalam menghadapi perdebatan antarkelompok bertikai yang kadang seperti tak berujung.


Menurut Kiai Dian Nafi’, keunikan gaya pendidikan pesantren telah membangun kemampuan perseptual dalam diri para santri, yakni kemampuan memahami realitas yang melintasi batas kewajaran. Pergulatan yang intens dengan teks-teks kenabian, juga membekali mereka dengan kearifan, yang mampu menangkap makna-makna simbolik, sehingga tidak mudah memvonis orang lain.


Ia mencontohkan dengan kisah ketika seorang Arab Badui datang ke Masjid Nabawi pada masa Rasulullah SAW dan kencing di dalamnya. Perbuatan kurang ajar itu kontan membangkitkan kemarahan sebagian sahabat yang langsung berdiri untuk menghajarnya. Namun Rasulullah SAW, dengan kearifan rabbaninya justru mencegah aksi para sahabat, dan membiarkan sang Badui pergi dengan tenang. Dan terbukti, beberapa hari kemudian sang Badui kembali menjumpai Rasulullah untuk menyatakan masuk Islam.


Kiai Dian Nafi’ juga bersyukur. Meski berangkat dari pesantren tradisional, kiprahnya diakui kalangan internasional. Ini terbukti dengan undangan untuk mengikuti Disaster Management Training di Africa University, Mutare, Zimbabwe, yang dilakoninya tahun 2001 lalu.


“Profesinya” sebagai ustadz di pesantren, yang sering menjadi tumpuan keluh kesah para santri yang memiliki latar belakang beragam, juga membekalinya kemampuan dan kepekaan tersendiri dalam mendengarkan keluh kesah korban-korban konflik berdarah yang didampinginya, termasuk tonggak-tonggak ideologis yang tersembunyi.


Tak disangka, pengalaman empirisnya dalam dunia pendidikan pesantren dan perdamaian juga membawa langkah kakinya ke forum Education in Religion for Communitiy Consultation di Agia Napa, Siprus (2001), Asia Africa People Forum di Kolombo (2003), Indonesia Pesantren Program di Amherst, Massachusetts, USA (2003), dan Summer Peace Building Institute di Harrisonburg, Virginia, USA (2005). Di sinilah kelompok anti-perang di Knoxville, Tennessee, memintanya untuk berbagi pengalaman tentang diplomasi ulang alik dan mediasi melalui fungsi yang diterapkan timnya di Maluku dan Maluku Utara. Sebuah pencapaian yang melampaui angan kebanyakan santri di pesantren tradisional, yang setiap hari bergelut dengan kitab kuning, kain sarung, dan kopiah.


Langganan Beasiswa

Pak Dian, demikian sang kiai biasa disapa santri-santrinya, lahir di Sragen pada 4 April 1964. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya, K.H. Ahmad Djisam Abdul Mannan, merintis Pesantren An-Najah, Gondang, Sragen, Jawa Tengah, yang kini diasuh kakak iparnya. Sementara kakeknya, K.H. Abdul Mannan, adalah pendiri Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, salah satu pesantren Al-Quran yang terkenal di Solo.


Sejak usia delapan tahun Dian Nafi’ kecil tinggal di Mangkuyudan, Solo, bersama pamannya, K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan (Mbah Umar), salah seorang ulama besar Al-Quran era tahun 1960-1980-an. Kebersamaan yang cukup lama itu memberinya banyak waktu untuk mempelajari secara langsung kepribadian dan kebijaksanaan kiai yang terkenal arif itu. Meskipun dekat dengan sang paman, ia tidak tinggal di kediamannya, melainkan di asrama bersama para santri lainnya.


Sosok Kiai Umar sangat lekat dan membekas dalam hatinya. Sehingga, dalam sikap dan kebijakan kepesantrenan Kiai Dian Nafi’, nama Kiai Umar Mangkuyudan-lah yang paling sering disebut sebagai referensinya.


Nafi’, demikian Kiai Umar menyapanya, usai menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri 94 Premulung Laweyan, melanjutkan pendidikan menengahnya di lingkungan Pesantren Al-Muayyad. Dikenal sebagai sosok yang rajin dan ulet, Dian Nafi’ pun menggeluti beragam aktivitas keorganisasian di lingkungan pesantren dan Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) cabang kota Solo. Bahkan untuk memperkaya pengalaman dan menempa jiwanya, ia juga pernah bekerja sebagai kuli bangunan, yang dilakoninya di sela-sela waktu belajar formalnya.


Tamat Madrasah Aliyah, Dian Nafi’ masuk Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS, sambil berlatih mengajar di pesantren almamaternya. Ia terbilang menikmati kuliahnya, sehingga “ … terlambat lulus S-1”, akunya. Saat kuliah ia juga tercatat sebagai langganan penerima beasiswa Supersemar.


Di sela-sela aktivitas belajar dan mengajarnya, masih dalam status mahasiswa S-1, Dian Nafi’ dipercaya menjadi Sekretaris PCNU Surakarta dan selanjutnya menjadi Ketua Tanfidziyah cabang yang sama.


Tahun 1994, Ustadz Dian Nafi’ dipanggil K.H. Abdul Rozaq Shofawi, pengasuh Pesantren Al-Muayyad sepeninggal Mbah Umar. Tanpa disangka, ia ditugasi membuka dan mengasuh pesantren cabang di sebidang bangunan yang terletak di Dukuh Windan, Makamhaji, Kartasura, yang baru saja dibeli oleh Yayasan Lembaga Pendidikan Al-Muayyad.


Meski anak kiai dan dibesarkan oleh pamannya yang juga kiai pengasuh pesantren, penugasan membuka pesantren yang mendadak itu tak urung membuat Ustadz Dian kelabakan. Tahun 1993, memenuhi permintaan K.H. Abdul Rozaq, ia menulis dua desain pesantren. Meskipun begitu, ia merasa tidak percaya diri. Maklum, usianya yang saat itu baru 30 tahun diangapnya terlalu muda.


Akhirnya, setelah berkonsultasi dengan gurunya, menantu K.H. M. Salman Dahlawi (mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah dan pengasuh Pesantren Al-Manshur Popongan, Klaten) itu memutuskan untuk sowan kepada 40 orang ulama sepuh di Pulau Jawa. Selain memohon doa restu, ia juga bermaksud memohon nasihat dan arahan guna merealisasikan konsep pesantrennya.


Pesantren Eksekutif NU

Dari hasil sowannya itu, Kiai Dian Nafi’ memutuskan mendirikan pesantren mahasiswa yang berkonsep pesantren tanfidziyyah. “Hampir semua pesantren menyiapkan santrinya menjadi syuriah (sebutan untuk pemegang otoritas keagamaan dalam kepengurusan NU). Jarang pesantren salaf membekali santrinya dengan kecakapan menjadi pengurus tanfidziyyah (pelaksana harian atau eksekutif),” papar Kiai Dian Nafi’.


Karena itulah, selain mengajarkan dasar-dasar ilmu agama, Pesantren Windan juga membekali santrinya dengan berbagai kecakapan manajerial dan kepemimpinan. Maka, selain mengaji kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, akhlaq, dan penunjang-penunjangnya, para santri juga menikmati berbagai paket pelatihan yang diadakan oleh pesantren. Setiap santri juga diwajibkan mengikuti praktek pengalaman lapangan (PPL) selama 33 hari di bulan Ramadhan. PPL ini dibagi ke dalam tiga jenjang. Jenjang tertinggi PPL pesantren ini adalah pengorganisasian masyarakat yang mendasarkan pada metodologi participatory action research.


Tak jarang, santri-santri senior yang dianggap telah mempunyai bekal cukup, diikutkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat yang diadakan oleh beberapa LSM mitra Pesantren Windan. Sebagaimana sang pengasuh, mereka pun kemudian dikirim ke berbagai daerah yang membutuhkan; seperti Madura, Aceh, Yogyakarta, dan Pangandaran pasca-bencana alam dan sosial.


Lulusan Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia (PKU MUI) tahun 1997-1998 ini memang sosok guru yang unik. Di mata santrinya, ia adalah bapak, pendidik, sekaligus teman belajar yang menyenangkan. Tak hanya memerintah, Pak Dian juga sering terlibat dalam aktivitas santri, mulai dari menulis karya ilmiah yang berkualitas, sampai berkebun, beternak ikan, bercocok tanam, dan nukang (bertukang).


Tak mengherankan, sebagaimana dikisahkan para santri dalam pengantar buku K.H. M. Dian Nafi’, Menimba Kearifan Masyarakat, dalam proses belajar mereka, yang tak jarang jauh dari kesan formal, sang guru kerap ikut berkeringat dan ngos-ngosan, bahkan kadang terluka dan berdarah.


Kiai Dian Nafi’ juga tidak segan-segan mengumandangkan adzan di keheningan awal waktu subuh jika saat itu santri-santrinya masih terlelap tidur. Tak hanya itu, usai adzan, sang kiai pun dengan sabar mengabsen santrinya satu per satu melalui pengeras suara dengan nada yang khas. Dan sesekali mendatangi santri di kamar-kamar mereka.


Pesantrennya hanya menerima santri sejumlah yang lulus setiap tahun. Rata-rata santri mukimnya 45 orang. Kiai muda ini ingin bisa mengenal para santri sampai ke tingkat kapasitas setiap pribadi. Lulusan pesantrennya sebagian bekerja menjadi pegawai negeri sipil, aktivis LSM, profesional di media massa, wiraswastawan, teknisi di perusahaan sepeda motor, beberapa bank, dan satu di antara lulusan itu merintis pesantren di Jawa Timur dengan belasan santri mukim dan lebih dari 500 santri kalong (tidak mukim).


Yang membuat anak didiknya terkesan, hingga kini Kiai Dian masih rajin memberi pengarahan, berbagi ilmu dan informasi, melalui SMS kepada para santri dan alumni. Suatu bentuk tanggung jawab seorang bapak sekaligus guru kepada anak-anaknya. Para santri itu kemudian membuat mailing list untuk menjangkau alumni yang saat tulisan ini dibuat sudah mencapai 458 orang tersebar dari Aceh sampai Gorontalo.


Sebagai seorang pengasuh pesantren, Kiai Dian Nafi’ rupanya dianugerahi kelebihan di bidang penguasaan manhaj (metodologi atau sistematika). Ia mampu melihat suatu persoalan biasa dengan kacamata yang sistematis. Ketika berbicara mengenai pendidikan pesantren, misalnya, ia membuat sebuah rumusan khas, yang merupakan hasil dari pergumulan panjangnya dengan dunia santri. Pendidikan pesantren, ungkap Dian Nafi’, idealnya melewati tiga ranah:


Pertama, faqahah (pemahaman), yang diperoleh para santri melalui proses ta’lim (belajar). Hasilnya adalah penguasaan teks keagamaan. Kedua, thabi’ah (perilaku), yakni menubuhkan teks dalam perilaku sehari-hari melalui proses taslik atau suluk (pengamalan empirik dan reflektif). Hasil tahapan kedua ini akan tampak dalam bentuk uswah atau keteladanan sang santri.


Ranah ketiga disebut kafaah yang bisa diterjemahkan sebagai kecakapan yang dapat dibuktikan. Prosesnya melalui tatsqif, pelembagaan uswah kepada lingkungan terdekat. Hasilnya akan tampak dalam bentuk syahadah, kesaksian bahwa dalil yang dipelajari telah menjadi kenyataan yang terukur dan bermakna bagi masyarakat.


Demikianlah. Di usianya yang masih cukup muda, K.H.M. Dian Nafi’ boleh dibilang telah melakukan banyak hal besar untuk dirinya, lingkungannya, masyarakatnya dan tentu saja dunia pesantren yang telah membesarkannya. Meski berangkat dari komunitas pendidikan tradisional, sekali lagi, ia telah berhasil melampaui angan kaum santri kebanyakan: menjejakkan kaki di ranah internasional. (Kang Iftah, Mei 2007)