K.H. Abdul Hayyie M. Na’im
K.H. Abdul Hayyie M. Na’im
Ulama Sepuh Betawi yang Peduli Anak Muda
Kepedulian akan masa depan remaja itu pula yang menggerakkan hatinya untuk mendampingi ikut mengasuh Majelis Taklim Nurul Mustafa, yang mayoritas jemaahnya remaja tanggung.
Ribuan jemaah masih menggoyangkan badannya ke kiri dan kanan, mengikuti irama hadrah, ketika dari kejauhan tampak seorang tua bertubuh tinggi besar memasuki arena. Beberapa di antaranya segera berebut mencium tangan ulama yang kelihatan kelelahan itu. Oleh panitia, tokoh yang mengenakan gamis dan jubah putih lengkap dengan iqamahnya itu pun segera diantar naik ke panggung.
Di panggung, beberapa habib dan para ustaz segera menyambutnya. Tak lama ia pun dipersilakan duduk di sebelah Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, sang pengasuh majelis. Usai tausiah beberapa habib muda, sang kiai ini pun mendapat giliran berceramah.
Duduk di sofa, suara baritonnya pun memecah keheningan. Dengan dialek Betawi yang kental, kiai berwajah jernih ini mengupas materi tauhid, tentang manisnya iman. Gayanya yang santai dan celetukan-celetukan segarnya membuat suasana pengajian yang hampir mendekati tengah malam itu semakin hangat. Dan materi yang sebenarnya berat itu pun menjadi lebih mudah ditangkap jemaah, yang mayoritas anak-anak muda.
Canda yang mengiringi sepanjang pengajiannya pun tak mengurangi bobot keilmuan yang disampaikan tamu kita kali ini, K.H. Abdul Hayyie M. Na’im.
Lahir tahun 1940 di Cipete, anak kedua dari tiga puluh bersaudara ini adalah putra ulama Betawi, K.H. Muhammad Na’im, asli Cipete, dan Hj. Mardhiyah, yang berasal dari Mampang.
Masa kecilnya dihabiskan bersama orangtuanya di Cipete, Jakarta Selatan. Selepas Madrasah Ibtidaiah, ia pun kemudian melanjutkan ke Raudhatul Muta’alimin Mampang, yang diasuh ulama kenamaan Betawi K.H. Abdur Razaq Ma’mun.
Celana Pendek
Tak lama, Abdul Hayyie, yang baru berusia 14 tahun, pun dikirim nyantri ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Ihwal pengirimannya ke pesantren legendaris itu berawal dari kunjungan Kiai Abdur Razak, yang juga sekaligus sahabat orangtuanya, ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tersebut. Melihat kualitas pendidikannya, Kiai Razzaq lalu merekomendasikan Abdul Hayyie untuk nyantri di sana.
Meski masih terbilang kecil, Abdul Hayyie berangkat ke pesantren hanya bersama kawannya, tanpa ditemani orangtua. Bahkan saat masuk pesantren yang saat itu diasuh K.H. Abdul Khaliq Hasyim, ia hanya memakai celana pendek. Maka, tak ayal, ia disambut dengan sorak-sorai santri-santri lain, sementara ia sendiri kebingungan karena tak mengerti bahasa Jawa.
Enam bulan pertama, ia mengaku baru berusaha menyesuaikan diri dengan suasana pesantren. Atau, menurut istilahnya, mondok-mondokan. “Ada anak-anak yang ngaji ke sana, saya ia ikut ke sana. Ada yang ngaji ke sini... ikut,” kenangnya terkekeh.
Baru pada bulan ketujuh ayahnya datang untuk memasrahkannya kepada para pengajar Tebu Ireng. Secara khusus ia juga dititipkan kepada Kiai Idris Kamal, menantu Hadhratus Syekh Hasyim Asy’ari, yang berasal dari Cirebon.
Awalnya, Abdul Hayyie, yang berteman akrab dengan Gus Hakam, putra K.H. Kholiq, pengasuhnya, mengikuti pengajian dengan sistem bandongan, guru membacakan sebuah kitab dan para santri menyimak sambil memberi catatan makna di kitabnya masing-masing. Setelah dua tahun, Kiai Idris, gurunya, menyuruh Abdul Hayyie mengaji dengan sistem sorogan, santri membaca dan menguraikan makna kitab sedangkan sang guru hanya mendengarkan sambil sesekali mengoreksi.
“Kalau kamu ngaji bandongan, yang akan tambah pandai itu guru kamu,” nasihat Kiai Idris waktu itu. “Sedangkan dengan sorogan, kamulah yang akan aktif dan bertambah pandai.” Secara khusus, Kiai Idris menyediakan waktu baginya untuk mengajukan sorogan.
Mencukur Kiai
Dengan Kiai Idris ini, Abdul Hayyie menjadi santri istimewa dan sangat disayang. Misalnya, setiap kali makan malam, Kiai Idris selalu menyisakan separuh dari sepiring porsi yang disantapnya. Menjelang tengah malam, santri yang sudah dianggap putra sendiri itu dipanggil dan disuruh menghabiskan sisa makan malam dari piring gurunya tersebut. Dalam tradisi pesantren, makanan sisa guru ini dianggap membawa berkah tersendiri.
Belakangan, Abdul Hayyie juga dipercaya mengurus berbagai hal pribadi sang guru, termasuk urusan cuci pakaian, atau, untuk pakaian-pakaian tertentu, laundry. Bahkan ia dibelikan gunting cukur dan diminta untuk belajar memangkas rambut dengan Kiai Idris sebagai modelnya. Selama kurang lebih empat tahun, Abdul Hayyie menjadi tukang cukur kiainya itu.
Saking sayangnya, kiai yang hanya memiliki seorang putra itu juga mencukupi seluruh kebutuhan Abdul Hayyie di pesantren. Hayyie juga dilarang terlalu sering pulang. “Kamu pulang mau apa? Kalau kamu kangen pada orangtuamu, saya akan minta mereka datang kemari. Kalau kamu butuh uang, saya beri. Kamu butuh pakaian, saya belikan,” ujar ayah angkatnya itu setiap kali Abdul Hayyie pamit pulang.
“Maka saya pernah dua tahun lebih tidak pulang dari pesantren... he he he,” tutur Kiai Abdul Hayyie.
Hal yang paling mengesankan dari Kiai Idris, yang dianggap paling berjasa dalam mendidik Abdul Hayyie, adalah dalam hal kedisiplinan dan kerapian. Dalam berpakaian, misalnya, sang guru selalu tampil dandy dengan baju disetrika licin dan sepatu yang hitam berkilat, meski nyaris tidak pernah meninggalkan kompleks pesantren.
“Kiai,” kata kiai yang oleh muridnya kerap disapa Buya itu, “juga sangat disiplin dalam mengajar. Kiai sering mengatakan, ‘Kalian harus sungguh-sungguh dalam mengaji, kalau tidak mendingan nggak usah mengaji pada saya. Lha buat apa, di dunia saya capek enggak dapat apa-apa. Kalau kalian tidak berhasil jadi orang di akhirat, saya juga enggak dapat apa-apa’.”
Kiai Idris, kenang ulama yang pernah 15 tahun menjabat katib am PWNU DKI ini, mempunyai cara mengabsen yang unik. Setiap akan mengajar, ia memberikan dua bungkus rokok kepada Abdul Hayyie dan menyuruhnya membagikan kepada murid-murid yang akan mengaji. Setiap murid hanya berani mengambil satu batang, sisanya akan dikembalikan pada sang kiai. Maka, dari sisa rokok, Kiai Idris akan segera tahu berapa orang santri yang saat itu bolos mengaji.
“Santri yang ketahuan membolos dengan sengaja akan diskors tiga hari tidak diizinkan mengaji. Dan bila sampai tiga hari tidak minta maaf secara pribadi, ia tidak akan diizinkan mengaji selamanya.”
Pengalaman menarik di masa mondok lainnya, setiap kali baru pulang atau akan berangkat ke pesantren, Abdul Hayyie selalu dibawa sang ayah sowan kepada Habib Ali Al-Habsyi, Kwitang, dan Habib Ali Alatas, Cikini, untuk dimintakan doa. Ia juga diharuskan pamit kepada seluruh paman dan bibinya setiap kali akan berangkat.
Penduduk Ilegal
Meski dengan berat, akhirnya, pada tahun 1960, Kiai Idris mengizinkan Abdul Hayyie pulang dari Tebuireng. Waktu itu ayahnya beralasan akan memberangkatkan Kiai Abdul Hayyie ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Ceritanya, tahun ’60-an Kiai Muhammad Na’im sangat menginginkan anaknya bisa bermukim dan belajar di Mekah. Maka ia pun mendekati koleganya di NU, K.H. Idham Khalid, yang kemudian berhasil memberikan kemudahan pemberangkatan putranya.
Malam sebelum kepulangannya, Kiai Idris meliburkan semua pengajiannya dan menyediakan waktu kepada anak angkatnya untuk bercengkerama. Malam itu juga Kiai Idris menitipkan sepucuk surat kepada Abdul Hayyie untuk disampaikan kepada familinya yang menjabat duta besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi, K.H. Muhammad Ilyas. Maka tahun itu Abdul Hayyie berangkat ke Mekah dengan menumpang kapal laut.
Di Kota Suci, Abdul Hayyie mondok di Pesantren Darul Ulum, yang diasuh oleh Syekh Yasin Al-Padani, ulama besar Mekah kelahiran Minangkabau. Yang unik, selama kurun waktu lima tahunan (1960-1964), keberadaan Abdul Hayyie dan beberapa kawannya adalah sebagai mukimin ilegal. Karena sebenarnya saat itu pemerintah Kerajaan Arab Saudi melarang kedatangan mukimin baru.
Saat itulah K.H. Abdul Hayyie merasakan betapa Allah SWT telah melindunginya selama masa belajar. “Waktu baru datang,” cerita Buya penuh semangat, “saya langsung tawaf dan berdoa di depan Ka’bah, agar selama belajar Allah menyelamatkan saya dari sweeping para asykar, tentara.”
Di madrasah yang sangat populer di tanah air ini, ia sekelas dengan Kholil Bisrie, putra K.H. Bisri Musthofa Rembang. Ia juga berteman dengan Hambali Maksum dan Mahfuzh Ridwan (kini menjadi pengasuh Ponpes Edimancoro Salatiga). Seiring perjalanan waktu, ketiganya menjadi sahabat karib.
Bersama Hambali dan Mahfuzh pula, pada 1965, ia nekat hijrah ke Baghdad, Irak, tanpa bekal apa pun, kecuali tiket yang dibeli dengan uang terakhir yang mereka miliki. Di Baghdad mereka mendaftar di Fakultas Sastra Baghdad University. Namun, untuk diterima dan berhak mendapatkan beasiswa, ternyata ketiganya masih harus menunggu cukup lama.
Mereka lalu memutuskan tinggal di sebuah flat, langganan mahasiswa Indonesia yang pembayaran sewanya bisa diutang sampai beasiswa keluar. Sedangkan untuk makan, secara bergantian ketiga pemuda itu menjual satu per satu barang yang mereka miliki di pasar loak. Uangnya digunakan untuk membeli bahan makanan yang dimasak dengan menumpang di sebuah musala yang merbotnya kebetulan orang Indonesia. Dan untuk menghemat uang, mereka makan hanya sekali dalam sehari.
Demikianlah, selama kurang lebih lima bulan, Abdul Hayyie, Mahfuzh Ridwan, dan Hambali hidup prihatin di ibu kota negeri Abu Nawas tersebut. Kehidupan mereka mulai membaik saat beasiswa yang terbilang lumayan itu sudah mereka terima dengan lancar setiap bulan. Bahkan sebagian uang tersebut bisa ditabung.
Remaja Masjid
Ketika kuliah di Baghdad itu pula, pada tahun kedua, Abdul Hayyie bertemu dan bersahabat dengan Abdurrahman Wahid (mantan presiden RI) yang kebetulan sekelas dengannya. “Kami dulu sering gantian pinjam buku catatan setiap menjelang ujian,” kenangnya.
Hingga kini, ia dan Gus Dur masih terus menjalin silaturahmi. Gus Dur, yang kemenakan kiainya di Tebuireng itu, sesekali juga mengunjungi rumah sahabatnya ini. Terkadang mereka mengobrol sambil terkekeh-kekeh, nostalgia mengenang beberapa kebiasaan di Baghdad, misalnya main karambol.
Berbeda dengan di negara Timur Tengah lain, saingan terberat mahasiswa Indonesia di Irak adalah para pelajar Irak sendiri. Mereka belajar sangat keras, karena takut tidak lulus. Sebab, kata Kiai Abdul Hayyie sambil terkekeh, pelajar irak yang gagal dalam ujian akan langsung diikutkan wajib militer dan dikrim ke medan perang.
K.H. Abdul Hayyie berhasil meraih gelar Lc-nya tahun 1970. Namun ia tak segera pulang. Bersama sahabatnya, Mahfuzh dan Hambali, kembali ia berkelana ke beberapa negara Timur Tengah, seperti Yordania, Turki, dan Beirut. Mereka menggunakan uang tabungan yang disisihkan dari beasiswa dan uang pengganti tiket pesawat yang disediakan pemerintah Irak.
Baru tiga tahun kemudian Abdul Hayyie kembali ke tanah air. Di kampung halamannya, Cipete, ia segera bergulat dengan aktivitas barunya, membantu sang ayah mengajar. Apalagi ketika enam bulan kemudian ayahnya wafat, K.H. Abdul Hayyie pun semakin tenggelam dengan aktivitas dakwah dan taklimnya.
Di samping mengasuh pengajian dan Madrasah An-Nur, peninggalan ayahnya, ia juga mengajar di berbagai madrasah dan majelis taklim di Jakarta Selatan, termasuk daerah Ciganjur dan sekitarnya. Baru pada 1989, setelah adik-adiknya dirasa cukup matang untuk menggantikan posisinya di An-Nur, Cipete, ia pun hijrah ke Jalan Durian, Gang Sabar, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Meski demikian, dengan rutin ia masih terus memantau dan mendampingi pendidikan di An-Nur.
Lima belas tahun terakhir, seminggu sekali ia juga mengajar secara bergiliran di sekitar 50 masjid di Jakarta Selatan dan Depok. Meski usianya telah beranjak, semangat dan derap langkahnya perlu diacungi jempol.
“Masih maraknya pengajian-pangajian inilah yang meredam murka Allah SWT,” tuturnya suatu hari menjelaskan, “sehingga tidak segera menurunkan azab-Nya atas penduduk kota metropolitan ini.”
Kiai Abdul Hayyie mengaku miris setiap hari menyaksikan kekejian dan kesadisan yang dilakukan oleh sesama manusia. “Jakarta sekarang ini ibarat hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas,” keluhnya gundah.
Ayah 11 anak ini juga sangat khawatir dengan perkembangan masyarakat 30 tahun mendatang. Para pejabat saat ini, kata Kiai Abdul Hayyie, 30 tahun lalu adalah remaja yang dibesarkan dengan budaya yang masih relatif bersih. “Saya, tahun 1950-an,” kenangnya, “bersama teman-teman adalah remaja yang hobi tidur dan bermain di masjid. Itu pun jadinya kayak sekarang. Apalagi remaja kita saat ini 30 tahun mendatang.”
Kepedulian akan masa depan remaja itu pula yang menggerakkan hatinya mendampingi Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, mengasuh Majelis Taklim Nurul Mustafa, yang mayoritas jemaahnya remaja tanggung. (AIS-Oktober2005)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home